Sepulang dari menghadiri pertemuan dengan salah satu calon wakil presiden Indonesia, di hotel Aston, Cirebon, Jawa Barat, saya beserta rombongan menyempatkan diri silaturahmi dan singgah di kampus Hidayatullah Cirebon yang tak jauh dari lokasi pertemuan. Kemudian, kami disambut serta dimuliakan layaknya tamu pada umumnya. Selain bincang santai, mereka juga mengajak kami ke kedai kopi milik salah satu pengurus. Ya, maksudnya ngobrol banyak hal sambil ngopi di pagi hari, atau bisa disingkat NGOPI.
Saya kaget ketika tiba di tempat tujuan, karena dalam bayangan tergambar sebuah tempat permanen dengan konsep outdoor atau indoor bertuliskan "WARKOP" di depannya. Seperti warung kopi pada umumnya, baik tradisional maupun modern. Ada dapur produksinya, kasir dan tempat duduknya.
Namun, ternyata hanya berbentuk tenda berukuran sedang plus meja kecil sebagai etalase dan produksi jualan. Di bagian depan tenda terpampang spanduk warna merah bertuliskan, "Niroga Kopi & Rempah."
Di bawahnya ada tulisan lagi, mungkin itu tagline dari kedainya, "Wedang Rempah Masa Kini."
"Ah, ini bukan warung kopi namanya," gumamku dalam hati.
Tempatnya portabel alias tidak permanen dan fleksibel, jadi bisa bongkar pasang kapan dan di manapun saja. Menunya juga hanya wedang rempah, susu, telor, madu dan jahe (STMJ) tanpa kopi.
Jadi, sebenarnya tidak pas bila disebut warung kopi, tapi lebih tepat disebut lapak jamu. Saat mau duduk, kami juga harus mencari spot terbaik, tanah kosong di sekitar lapak.
Namun demikian, poin yang hendak saya tuliskan di sini bukan pada warung ataupun kopinya. Beberapa saat setelah berjalan menggunakan kendaraan roda empat, tetiba jalanan menjadi padat merayap.
Saya menduga sedang ada kegiatan jalan sehat dari salah satu calon presiden karena ada spanduk mirip woro-woro sebuah acara olahraga. Soalnya memang bertepatan dengan hari ahad, pas hari libur.
Dugaan saya meleset, ternyata itu adalah area stadion sepak bola Cirebon, "Raggajati," diambil dari nama seorang da'i Ki Gede Raggajati.
Saking padatnya, kami harus berjalan kaki agak jauh dari tempat tujuan, dari ujung ke ujung. Enak saja, sebab saya bersama banyak teman berjalan beriringan sembari melihat kanan-kiri aneka jualan, terhampar di sepanjang jalan dan sejauh mata memandang. Kemegahan pagar Raggajati tertutup oleh padatnya pedagang dan orang-orang yang lalu lalang.
Saya mengamati aktivitas ekonomi masyarakat di tempat ini begitu menggeliat, terutama makanan serta minuman yang banyak diburu oleh banyak orang.
Sekali lagi, ini bukan pasar tradisional ataupun modern dan saya tidak melihat ada ikan serta daging dijual di tempat ini. Orang-orang menyebutnya "Pasar Dadakan," karena tiba-tiba ada pasar. Biasanya, hanya di pagi hari hingga menjelang siang dengan hari dan tempat yang sudah ditentukan.
Jadi, "Pasar Dadakan" yang saya kunjungi ini tempatnya di sekitar St. Ranggajati, setiap hari ahad dan waktunya di pagi hari. Setelah itu, pasar ini bubar dengan sendirinya, baik pedagang maupun pengunjung pulang ke tempat masing-masing.
Apa yang menarik?
Saya menyimpulkan aktivitas ekonomi melalui "Pasar Dadakan" ini perlu terus didorong dan difasiltasi oleh pemangku kebijakan.
Maksudnya, jangan sampai dilarang apalagi diusir menggunakan kekuatan aparat. Selain meningkatkan daya beli masyarakat, hal ini membantu pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam memasarkan produk mereka, sekaligus mendorong lahirnya entrepreneur baru. Pemerintah harus melihat aktivitas ini sebagai peluang yang harus ditangkap dan dieksekusi.
Bahkan, kalau perlu pemerintah menyiapkan anggaran khusus untuk "Pasar Dadakan" ini. Bisa berupa modal usaha, tempat, produk barang dan jasa. Perbanyak juga pasarnya, bisa setiap desa atau tempat-tempat tertentu yang dapat mengundang datangnya banyak orang.
Daripada membuat pelatihan atau kursus yang bersifat teoretis, lebih baik langsung praktek berdagang melalui "Pasar Dadakan." Ini lebih ril dan menjanjikan, karena selain memberikan lapangan kerja baru, juga mengubah cara pandang masyarakat.
Saya membayangkan, bila setiap sudut desa atau kelurahan dalam satu kecamatan ada minimal sekali "Pasar Dadakan," maka akan sangat berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar.
Andaikata, semua falisitas umum di seluruh kota sampai desa terbuka untuk para pelaku usaha memasarkan produk dagangannya dan setiap warga berhak untuk berpartisipasi di dalamnya, niscaya akan ada lompatan kemajuan ekonomi secara nasional. Ini soal kemauan dan menangkap peluang dari para iniator "Pasar Dadakan."
Tentu, ada plus dan minus antara pasar permanen dan dadakan. Misalnya, pasar permanen memerlukan tempat khusus, sementara dadakan tidak. Secara biaya cenderung lebih efesien, karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa ruko dan lain sebagainya.
Pastinya, secara esensi sama, yakni menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli sekaligus terjadinya pertukaran barang dan jasa atau transaksi ekonomi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Seperti yang digambarkan oleh Philip Kotler, Dahl dan Hammond.
Alhasil, "Pasar Dadakan" ini layak menjadi awal bangkitnya kegiatan ekonomi masyarakat kelas kecil menengah sekaligus inspirasi bagi handai taulan untuk turut terpanggil menjadi saudagar alias pelaku ekonomi. Sudah saatnya, pelaku UMKM mampu menciptakan pasar sendiri serta mekanismenya secara mandiri.
Kalau kata Ibnu Khaldun, semakin banyak barang tersebar di pasar, maka harga-harga akan semakin murah khususnya kebutuhan pokok. Nah, kesempatan inilah yang harus ditangkap oleh kita, "Pasar Dadakan."Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H