Mohon tunggu...
Bustanil Ilmi Agustin
Bustanil Ilmi Agustin Mohon Tunggu... Guru - Beginner

Seorang guru bahasa sekaligus mahasiswi pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarjana Kehidupan

3 Januari 2024   20:58 Diperbarui: 3 Januari 2024   21:02 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menikmati bangku perkuliahan memang menjadi impian bagi semua orang. Namun, tidak semua orang dapat merasakannya, hanya orang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Mungkin Supri adalah salah satunya, seorang anak petani biasa yang berasal dari salah satu kota di Jawa Timur. Supri merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. 

Di antara mereka bertiga hanya Supri saja yang sempat kuliah karena keterbatasan biaya. Dulu, tak pernah terlintas di benak Supri bahwa ia akan kuliah dimana dan harus mengambil jurusan apa. Bagi Supri, bisa kuliah saja sudah Alhamdulillah.

Atas permintaan ayahnya, Supri mengambil jurusan bimbingan dan konseling di salah satu Universitas yang ada di Jombang. Padahal, ia sama sekali tidak tahu menahu jurusan bimbingan dan konseling itu seperti apa dan bagaimana. Namun, Supri tidak pernah protes sedikitpun. Ia yakin bahwa dengan menuruti keinginan orangtua, maka Allah akan memudahkan segala urusannya.

Selain kuliah, Supri juga mondok. Di sela-sela kesibukan akademiknya, Supri juga mengajar di sekolah dan TPA demi meringankan beban orangtuanya. Ia harus pandai mengatur waktu antara mengerjakan tugas kuliah, mengaji, dan menyiapkan materi untuk mengajar setiap harinya. Tetapi hal itu tak lantas mengganggu keistiqomahan ibadahnya. Sholat sunnah tak pernah ia lewatkan. Baik sholat rowatib, tahajud, hajat, dhuha, dan sebagainya. Supri sering meminta ijazah amalan-amalan pada para Kyai agar hajatnya dikabulkan oleh Allah. Dengan penuh semangat dan keyakinan, ia akan mengamalkan semuanya tanpa terkecuali.

Perjalanan hidup Supri penuh dengan perjuangan. Bagaimana tidak? Untuk sampai ke kampus, Supri harus mengayuh sepeda ontelnya sejauh lima kilometer. Berbeda dengan teman-temannya yang saat itu menggunakan sepeda motor. Tidak hanya itu, jika ayahnya sedang tidak punya uang untuk membiayai kebutuhannya, Supri akan berpuasa. 

Tidak peduli puasa senin-kamis, weton, mutih, dan lain sebagainya pernah ia lakukan. Bahkan, Supri rela tidak makan jika tidak punya uang sepeserpun. Ia hanya berbuka dengan meminum air putih. Namun, Supri tidak pernah mengeluh atau memberi tahu siapapun tentang ini, termasuk kepada teman-temannya. Jika ditanya "Udah buka belum, Mas?" Supri selalu menjawab dengan tersenyum "Sudah, Mas". Hal itu semata-mata Supri lakukan karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Supri juga tidak berani berhutang kepada siapapun karena khawatir tidak bisa membayar.

Lima tahun kemudian, akhirnya Supri lulus menjadi seorang sarjana. Sedikit terlambat dibanding teman-temannya. Maklumlah, karena kuliah, mondok, dan ngajar itu tidaklah mudah. Lulus lama bukan berarti suksesnya juga lama, kan?. Setamat kuliah, Supri memutuskan menikah dengan Ifah. Seorang gadis yang ia temui di tempat mengajar yang sama. Meskipun belum memiliki pekerjaan tetap, untungnya Ifah dapat menerima Supri apa adanya. Dengan penghasilan yang sangat pas-pasan, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Waktu itu, gaji Supri hanya sebesar dua puluh lima ribu rupiah, sementara Ifah tiga puluh ribu rupiah karena merangkap sebagai staf tata usaha.

Setahun kemudian, ketika krisis moneter melanda Indonesia, anak pertamanya lahir ke dunia. Anak itu diberi nama Agustin karena lahir pada bulan Agustus. Untuk menambah penghasilan, Supri yang seorang sarjana pun rela berjualan celana pendek dari pasar ke pasar dengan mengayuh sepeda ontel kesayangannya, jika tidak ada jadwal mengajar. Ia juga pernah menjadi sales produk kesehatan. Supri tidak malu, bagi Supri, yang terpenting pekerjaannya halal walau hasilnya tidak seberapa. Meskipun keadaan ekonominya memprihatinkan, untung saja anaknya mampu bertumbuh kembang dengan baik dan sehat.

Seiring berjalannya waktu, Supri telah mengajar di beberapa SMP swasta. Jadi, setiap pagi ia mengajar di SD, sedangkan sorenya di SMP tanpa ada libur. Bisa dibilang, Supri itu serba bisa. Selain sebagai seorang guru BK, ia juga mengajar beberapa mata pelajaran seperti bahasa jawa, akhlaq, PKN, agama, hingga qira'ah. Ketika ada pendaftaran PNS, Supri selalu mencobanya. Tak terhitung berapa kali Supri gagal, tapi ia pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Selalu ada harapan dalam untaian doa yang ia panjatkan setiap harinya. Supri ingin keluarga kecilnya hidup lebih layak dan sejahtera.

Tujuh tahun kemudian, istrinya hamil anak kedua. Dokter berkata bahwa proses kelahiran adikku harus melalui operasi. Betapa bingungnya Supri mengupayakan biaya yang cukup besar untuk persalinan istrinya. Ia pontang panting mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Mendekati waktu persalinan, bak sebuah mukjizat. Alhamdulillah, anak keduanya dapat lahir secara normal dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun.

Keesokan harinya, Supri kembali mengikuti tes CPNS untuk terakhir kalinya. Waktu itu ia berumur 34 tahun, sedangkan batasan usia mengikuti tes adalah 35 tahun. Ia bernadzar jika lulus tes, maka ia akan mengaqiqohkan anak keduanya. Namun, jika memang ditakdirkan tidak lulus, ia akan menerimanya dengan lapang dada. Supri memasrahkan segalanya kepada yang Maha Kuasa.

Seminggu kemudian, Supri dinyatakan lulus sebagai PNS. Alangkah bahagianya Supri dan Ifah mendengar kabar tersebut. Sontak mereka melakukan sujud syukur. Namun, dibalik itu, banyak orang yang tidak percaya jika Supri lulus. Mereka menduga bahwa Supri lulus karena uang sogokan (suap). Tahu lah ya? Gimana pedasnya omongan tetangga.

"Bapak kemarin nyuap berapa juta? 50 juta?" tanya seorang tetangga yang penasaran.

"Jangankan untuk menyuap uang sebanyak 50 juta, uang 1 juta saja saya nggak punya hehe" jawab Supri.

Sejak saat itu, keadaan ekonomi Supri merangkak naik. Supri bisa membangun rumah, membeli tanah, sawah, dan sepeda motor. Perlahan, impian Supri mulai terwujud satu persatu. Beberapa orang iri dengan kondisi Supri yang sekarang hidupnya enak tanpa tahu bagaimana lika-liku kehidupannya dulu. Tapi Supri seakan tak peduli, yang terpenting adalah keluarga selalu mendukungnya di segala kondisi. Ya, semuanya memang butuh proses yang panjang, tidak ada yang instan. Lebih baik bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian, kan?.

Beberapa tahun kemudian, ayah Supri meninggal. Ketika pembagian hak waris, Supri meminta agar dirinya tidak usah dicantumkan. Ia tidak ingin mendapatkan warisan sepeserpun. Bukan bermaksud sombong, tetapi ia lebih mengutamakan saudara-saudaranya yang membutuhkan. Bagi Supri, ayahnya telah mewariskan ilmu yang tak ternilai harganya yaitu dengan menguliahkan dan mengirimnya ke pondok pesantren. Hal itulah yang sampai saat ini ditanamkan Supri kepada anak-anaknya. Mungkin kekayaan harta suatu saat bisa habis, tetapi kekayaan ilmu tidak.

Supri melakukan hal serupa dengan ayahnya, ia mengusahakan agar kedua anaknya dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Ia juga mengirimkan mereka ke pondok pesantren untuk belajar ilmu agama. Tak terasa, Agustin, anak pertamanya dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana humaniora. Supri sangat gembira mendengarnya. Semua ini tidak lain dan tidak bukan adalah hasil dari kerja keras serta doa yang selalu ia baca setiap harinya. Di saat yang berbeda, anak keduanya telah mengkatamkan al-Qur'an dan menjadi hafidz 30 juz. Supri bersyukur anak-anaknya tidak mengalami kesulitan seperti dirinya dahulu. Ia juga mengingatkan bahwa perjuangan mereka tidak berhenti sampai di sini.  

"Jangan hanya menjadi sarjana akademik, Nak, karena pembuat soal dan ujiannya adalah manusia, semua orang mampu melewatinya. Tetapi jadilah sarjana kehidupan, karena pembuat soal dan ujiannya adalah Allah, tidak semua orang mampu melewatinya", kata Supri.

Agustin dan adiknya hanya mengangguk mendengar nasehat Supri. "Ternyata menjadi sarjana kehidupan tak semudah menjadi sarjana akademik", gumam Agustin dalam hati.

"Jika di dunia pendidikan kita belajar untuk menghadapi ujian, maka dalam kehidupan kita menghadapi ujian untuk belajar atau mengambil pelajaran. Ikhlas, sabar, syukur dan lain sebagainya itu ujiannya setiap hari, tetapi yang lulus mungkin hanya bisa dihitung dengan jari", Supri menambahi.

Memang benar, terkadang proses dalam menggapai impian tak selalu berjalan seperti yang diinginkan. Setiap orang memiliki hambatan dan rintangannya masing-masing, tak jarang pula mereka mengalami kegagalan. Namun, yakinlah bahwa suatu saat impian itu akan menjadi kenyataan. Entah sesuai dengan harapan atau bahkan di luar dugaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun