Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepuluh Manusia

2 April 2023   11:07 Diperbarui: 4 April 2023   06:03 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Bustamin Wahid

Peneliti Pusat Studi Melanesia 

Demokrasi kita tak sekedar narasi liar, tapi semua memerlukan infrastruktur yang memadai termasuk sumber daya yang unggul dan mapan di penyelenggara pemilu. Penyelenggara punya fungsionalisasi yang besar, karena memperjuangkan kepentingan dan masal depan umat manusia. 

Demokrasi itu adalah agenda peradaban manusia modern yang berkelanjutan dan terus di uji ketangguhannya sebagai sistem yang ideal, tapi sejauh ini mayoritas manusia di muka bumi menggelorakan semangat demokrasi ini dengan narasi-narasi besar untuk perubahan, bukan sekedar dekorasi semat dan hilang makna.

Kendati polarisasi demarkasi di Indonesia masih tetap mencari model terbaik, nampak sejauh ini model dan independensi institusi penyelenggaran pemilu sekelas KPU telah di bangun dan di isi oleh orang-orang terbaik dengan karakter yang berbeda, walau begitu sumber daya KPU  terseleksi integritas nya dalam sejarah perjalanan, maka ada yang gugur karena tidak mampu bertahan dengan moralitas, dan terjebak dengan pragmatism material.

Awal 2023 tugas baru sebagai tim seleks KPU PBD, kinerja yang dilalui dalam bingkai kebersamaan. Bahasa kekeluargaan muncul dalam setiap interaksi yang tak menajami kepentingan personal, dan berharap tim ini membendaharai orang" terbaik.

Dari Merayu ke Idealisme

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki metafora sebagai komisi masa depan demokrasi Indonesia, karena disana mereka menentukan regulasi dan mereka pula menjalankan regulasi itu dengan tidak menghianati sistem nilai yang disepakati publik.

Moralitas ini harus di jaga dan dibelah, karena lembaga yang rentan dengan titik pusat kepentingan elite kekuasaan, belum lagi justifikasi yang kuat bahwa KPU adalah orang-orang yang dilahirkan dari kesepakatan politik busuk, tentu itu akan di diperhadapkan dengan kepentingan semua kelompok.

Hendak kita belajar dari sejarah umat manusia dalam mencari bentuk kekuasaan di dunia, pada abad 6 SM di Yunani orang-orang mempertahakan kekuasaan dan merebut kekuasaan dengan segala instrumen yang dia bangun. Hal yang peling penting dalam kepentingan itu rupanya peran orang kaya (pemodal) yang bisa di ajak berkompromi dengan kekuasaan, jika ini menyatu dalam tongkat kekuasaan maka semua kepentingan akan di sihir dengan muda, dan akhir dari semua itu lahirlah satu sistem tirani yang kuat dan rakyat di kuasai, yang menyebabkan demokrasi tidak akan tumbuh menjadi bagian dari sejarah peradaban umat manusia.

Karya Percy Neville tentang "the origin of Tyranny" mengajari kepada dunia bahwa sejarah lampau tentang membentuk kekuasaan dan mempertahakan dominasi begitu dekat dengan pendekatan orang kaya dan jaringan keluarga. Fenomena demikian masih terjadi hingga kini, jangan salah ada sebagian kelompok yang mati-mati atas nama idealisme, namun kelompok tertentu mengharuskan model pragmatism sebagai tradisi wajib. Abivalensi kepentingan ini nyaris tak di hindari, kesadaran ini seakan tumbuh dan hidup bersamaan.

Konteks politik modern, konsepsi mayoritas orang bahwa demokrasi kita harus di bentuk dari ekosistem lembaga penyelenggara. Opini liar tentang lembaga penyelenggara kebanyakan secara hierarki adalah milik orang tertentu, baik itu di KPU dan Bawaslu. 

Apalagi elite kekuasaan ingin mendominasi kekuasaan. Jangankan penyelenggara pemilu, tim seleksi yang amanat kan untuk menjalankan tahapan seleksi penyelenggara, sudah di curigai adalah hasil dari pesanan kelompok dan aktor politik/elite. Kita tak sepenuhnya menyalahkan opini demikian, karena 3 tahun di temukan prilaku gratifikasi oleh salah satu oknum KPU RI Wahyu Setiawan (terdakwa), punya rekam jejak buruk saat seleksi KPU di Papua Barat, dan hal itu menjadi noda integritas lembaga.  

KPU adalah peniru prilaku Tuhan

Dalam satu kesempatan kita bisa merujuk pendapat filosofi terkemuka seperti Charles Taylor yang mengutip ucapan Agustinus memandang Tuhan (god) mengganti posisi kebaikan (the good). Pendangan ini memberikan makan bahwa nilai-nilai ke Tuhanan itu di miliki setiap manusia, tinggal bagaimana itu dibatinkan atau dalam bahwa Berger dan Luckhman di objektivasi. sedangkan Plato sendiri bicara tentang Tuhan yang Murni (incoruptus Deus) dan  manusia yang busuk (corruptus homo). Karena sumber daya manusia di KPU menjalankan amanah besar konstitusi, maka itu memiliki arti mereka meniru prilaku-prilaku Tuhan.

Ucapan klasik dan memiliki basis filosofi transenden yang membumi oleh Al Kindy bahwa berfilsafat itu sama halnya dengan kita meniru prilaku-prilaku Tuhan. Nampak operasional dari pandangan Al Kindi  bahwa proses menjaga dan mencari kebenaran terus akan dilewati oleh umat manusia, sejarah perjalanan menjaga dan mencari kebenaran itu harus hidup dalam prilaku penyelenggaran pemilu (KPU).

Oleh karena itu orang-orang yang berada di KPU adalah mereka-mereka yang selalu takut atas tuhannya dan terus berada dalam nilai-nilai ketuhanan. Filosofi nilai ketuhanan itu telah hidup dalam bahasa regulasi dan mendefinisikan dengan bahasa azas profesionalisme, integritas, independensi, akuntabel, jujur, dst.

Sepuluh manusia terpilih adalah bukan absah manusia suci, tapi mereka terlahir untuk penyelenggara pemilu. Mereka terpilih melalui mekanisme panjang dengan sandaran regulasi. Lantas, dengan cara apa kita mengukur nilai-nilai ketuhanan itu di setiap subjek yang mengisi penyelenggaran pemilu/anggota KPU? Prosesnya bukan sekedar bahasa dogmatisms, tapi tindakan nyata dalam menghidupkan semua regulasi yang telah di tetapkan dalam sistem demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun