Karya Percy Neville tentang "the origin of Tyranny" mengajari kepada dunia bahwa sejarah lampau tentang membentuk kekuasaan dan mempertahakan dominasi begitu dekat dengan pendekatan orang kaya dan jaringan keluarga. Fenomena demikian masih terjadi hingga kini, jangan salah ada sebagian kelompok yang mati-mati atas nama idealisme, namun kelompok tertentu mengharuskan model pragmatism sebagai tradisi wajib. Abivalensi kepentingan ini nyaris tak di hindari, kesadaran ini seakan tumbuh dan hidup bersamaan.
Konteks politik modern, konsepsi mayoritas orang bahwa demokrasi kita harus di bentuk dari ekosistem lembaga penyelenggara. Opini liar tentang lembaga penyelenggara kebanyakan secara hierarki adalah milik orang tertentu, baik itu di KPU dan Bawaslu.Â
Apalagi elite kekuasaan ingin mendominasi kekuasaan. Jangankan penyelenggara pemilu, tim seleksi yang amanat kan untuk menjalankan tahapan seleksi penyelenggara, sudah di curigai adalah hasil dari pesanan kelompok dan aktor politik/elite. Kita tak sepenuhnya menyalahkan opini demikian, karena 3 tahun di temukan prilaku gratifikasi oleh salah satu oknum KPU RI Wahyu Setiawan (terdakwa), punya rekam jejak buruk saat seleksi KPU di Papua Barat, dan hal itu menjadi noda integritas lembaga. Â
KPU adalah peniru prilaku Tuhan
Dalam satu kesempatan kita bisa merujuk pendapat filosofi terkemuka seperti Charles Taylor yang mengutip ucapan Agustinus memandang Tuhan (god) mengganti posisi kebaikan (the good). Pendangan ini memberikan makan bahwa nilai-nilai ke Tuhanan itu di miliki setiap manusia, tinggal bagaimana itu dibatinkan atau dalam bahwa Berger dan Luckhman di objektivasi. sedangkan Plato sendiri bicara tentang Tuhan yang Murni (incoruptus Deus) dan  manusia yang busuk (corruptus homo). Karena sumber daya manusia di KPU menjalankan amanah besar konstitusi, maka itu memiliki arti mereka meniru prilaku-prilaku Tuhan.
Ucapan klasik dan memiliki basis filosofi transenden yang membumi oleh Al Kindy bahwa berfilsafat itu sama halnya dengan kita meniru prilaku-prilaku Tuhan. Nampak operasional dari pandangan Al Kindi  bahwa proses menjaga dan mencari kebenaran terus akan dilewati oleh umat manusia, sejarah perjalanan menjaga dan mencari kebenaran itu harus hidup dalam prilaku penyelenggaran pemilu (KPU).
Oleh karena itu orang-orang yang berada di KPU adalah mereka-mereka yang selalu takut atas tuhannya dan terus berada dalam nilai-nilai ketuhanan. Filosofi nilai ketuhanan itu telah hidup dalam bahasa regulasi dan mendefinisikan dengan bahasa azas profesionalisme, integritas, independensi, akuntabel, jujur, dst.
Sepuluh manusia terpilih adalah bukan absah manusia suci, tapi mereka terlahir untuk penyelenggara pemilu. Mereka terpilih melalui mekanisme panjang dengan sandaran regulasi. Lantas, dengan cara apa kita mengukur nilai-nilai ketuhanan itu di setiap subjek yang mengisi penyelenggaran pemilu/anggota KPU? Prosesnya bukan sekedar bahasa dogmatisms, tapi tindakan nyata dalam menghidupkan semua regulasi yang telah di tetapkan dalam sistem demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H