Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila di Tanah Papua

1 Juni 2022   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:06 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By. Bustamin Wahid

Direktur Badan Riset dan Inovasi KAHMI (BRIK) Papua Barat

Sikap ilmiah dan kearifan kita harus benar-benar di tinggikan, apa lagi di momentum hari lahir pancasila 1 juni 1945. Poin dari momentum ini, sesungguhnya pikiran besar ini tak lahir sebentar dan sekejap, ranah diskursus sudah terjadi semenjak lama dalam alam kesadaran Presiden Soekarno (Bung Karno) tentunya. Ada yang tak sedikit mencari titik kelemahan dari pancasila itu sendiri, ada sebagian kelompok memuji pancasila, kelompok dua arah ini dengan dasar akademis.

Pidato Presiden Ir. Soekarno (Bung Karno) dihadapan BPUPKI, suguhan pidato penuh dengan wawasan kebangsaan. Bung Karno mencoba mengikat tarikan perjumpaan orang-orang nusantara dari Aceh-Irian Jaya (Papua), dia jadikan sejarah perjumpaan para pendahulu sebagai kekuatan geopolitik dalam menyatukan Indonesia, kendati semua itu jika di sadari telah terjadi dengan riskan dan heroik.

Wawasan kebangsaan dan rasa nasionalisme menjadi paradigmatik dalam bernegara yang bernama Indonesia. Bung Karno radiks atas sejarah relasi antara Papua dan Tidore, yang kemudian mengkulminasi menjadi satu perjuangan lauar biasa, wawasan kebangsaan dan relasi kultural ini selalu di jejaki dari Sultan Al Mansur, Nuku hingga Hi. Salahudin bin Talabuddin. Sultan Zianal Abdin Syah adalah ingatan sejarah untuk mengikat semua itu dalam konteks politik kebangsaan, oleh sebab itu wawasan kebangsaan menjadi percikan serius dalam ide pidato Bung Karno. Ini satu momentu, masi banyak peranan yang belum direkam. 

Ketuhanan Yang Maha Esa: Tafsir atas Realitas Beragama di Tanah Papua

Jika kita beragama dan ber-Tuhan di tanah Papua, maka akan kita jumpai dengan realitas toleran dan persaudaraan. Tanah Papua punya jalan dan kearifan tentang bertuhan, sebelum islam dan kritis berada di tanah Papua, orang Papua punya kepercayaan atas penguasa alam semesta melalui tafakur alam atau ritus adat.

            Konteks ke-Tuhan-an di Papua tak sekedar membutukan rasionalitas tapi memerlukan sika bijaksana dalam menerima pemahaman baru ini, dalam catatan sejarah lokal di Tanah Papua kita akan menemukan sosok seperti Tiparie Anggiluli, pribadi yang memiliki wawasan memadai, rasional dan mampu mencari alternatif argumen dalam meyakinkan masyarakat lokal pada saat  Sultan Al Mansur dari Tidore menyiarkan Islam di Tanah Tarof. Sederhanya Saya Pahami bahwa akumulasi peradaban yang besar di tanah Papua ini tidak dikerjakan dengan cara-cara kanibal, tapi dilalui dengan nilai-nilai keadaban yang tinggi atau dalam istilah Kleden sekelompok orang tertentu terus memelihara sikap-sikap ilmiahnya (kewarasan) di arena peradaban.    

            Tradisi pengetahuan orang-orang Papua juga tak canggung dan gagap atas wawasan kebangsaan, tradisi pengetahuan dalam pendidikan adat Wofle suku Maybrat misalnya telah mengsyaratkan pembayaran dengan menggunakan kain Timur, cerita orang Papua dengan sejarah kain timur menjadi jalan perjumpaan peradaban bangsa-bangsa Nusantara di tanah Papua. Cermin wawasan kebangsaan sungguh terlihat dengan tradisi pengetahuan dengan segala imajinasi dan kreatifitas yang dikerjakan. Jadi realitas ke-Tuhanan di Papua memiliki daya dukung kearifan dan sosio-pengetahuan yang baik.

            Besar harapannya, pancasila harus dipahami sebagai paradigma hidup yang mengikat kebersamaan dalam bernegara, tapi perhatiannya universal di semua level harus diwujudkan. Karena menjadi paradoks kemudian, jika hanya hadir menjadi dogma yang menakutkan, di Papua sendiri jika diamati kemudian membangun sistem argumen yang serius dalam tafsir semua poin pancasila, maka sila pertama adalah implikasi tertinggi. Kita tidak tahu Papua kedepan dalam polarisasi keagamaan, apakah terjadi benturan ordo-ordo spiritual dan sekte agama? Kita berharap kearifan di tanah Papua terus terjaga, hingga akhir nalar absolut.

Pancasila, Papua dan Harapan Orang Kokoda!      

Yudi Latif membawa kita pada satu pandangan yang utuh, sebab bagaimana terpenuhinya satu dasar bernegara dalam isi UUD. Tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta dan Soekiman mereka punya alasan beragam tentang mengisi kemerdekaan. Tapi untuk Hatta (Baca: Laitf, 2011) menegaskan bahwa harus ada jaminan yang tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalil semangat kekeluargaan di kemudian hari.

Kecemasan yang dibangun dengan argumentasi Hatta ini terbukti, lingkaran politik kekuasaan di Negara ini cenderung telah terbangun atas kepentingan elite dan oligarki. Kemerdekaan kita tak lagi mengedepankan cerita kesejahteraan dan kemanusiaan, jika pun ada nyaris tak menyentuh mereka yang sesungguhnya.

Di tanah Papua, pada satu kesempatan ada kunjungan Presiden Jokowi dengan beberapa punggawa istana, jalan yang tadinya debu dan berlubang sebelumnya mulus sekejap. Pagi hari semua terlihat gagah dan rapi, jalur yang dilewati Presiden dan rombongan seolah-olah disaksikan oleh kebahagiaan dan infografi kesejahteraan, padahal dibalik bangun-bangun yang kokoh itu tangisan kepayahan, kelaparan dan gizi buruk   tak tertahankan. Semua yang tertimpa oleh mereka terus terbayangkan, kehidupan mereka seakan suram, cerminan masa depan telah dialiri  air sungai yang berwarna kuning dan keruh, padahal pendahulu mereka dimobilisasi berbicara pancasila dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada saat persiapan PEPERA 1969, mereka adalah orang-orang Kokoda.

Apakah nalar sejarah negara menjamah semua perjuangan? Saya kira tidak. Mental sejarah negara ini hanya tercatat para orang-orang besar. Jika ingatan sejarah yang demikian buruk, layak kita mewakili sikap-sikap pancasilais? Tidak. Apakah mereka yang diabaikan perjuangan atas negara itu telah  memberontak dan mengangkat panji perlawanan untuk menentang negara? Tidak. Semua terdiam dalam kesabaran atas nama leluhur dan para pendahulu, mereka terlalu baik atas kekeliruan Negara. Kemanusiaan, keadilan, persatuan, kesejahteraan semua itu telah dirindukan dalam diam, sembari daya kerinduan mereka terus melawan stereotipe yang tak usai.

Pancasila yang dirindukan adalah pancasila membawa jalan harapan atas orang-orang Papua, sehingga kita utuh dalam bernegara yang bernama Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun