Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila di Tanah Papua

1 Juni 2022   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:06 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yudi Latif membawa kita pada satu pandangan yang utuh, sebab bagaimana terpenuhinya satu dasar bernegara dalam isi UUD. Tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta dan Soekiman mereka punya alasan beragam tentang mengisi kemerdekaan. Tapi untuk Hatta (Baca: Laitf, 2011) menegaskan bahwa harus ada jaminan yang tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalil semangat kekeluargaan di kemudian hari.

Kecemasan yang dibangun dengan argumentasi Hatta ini terbukti, lingkaran politik kekuasaan di Negara ini cenderung telah terbangun atas kepentingan elite dan oligarki. Kemerdekaan kita tak lagi mengedepankan cerita kesejahteraan dan kemanusiaan, jika pun ada nyaris tak menyentuh mereka yang sesungguhnya.

Di tanah Papua, pada satu kesempatan ada kunjungan Presiden Jokowi dengan beberapa punggawa istana, jalan yang tadinya debu dan berlubang sebelumnya mulus sekejap. Pagi hari semua terlihat gagah dan rapi, jalur yang dilewati Presiden dan rombongan seolah-olah disaksikan oleh kebahagiaan dan infografi kesejahteraan, padahal dibalik bangun-bangun yang kokoh itu tangisan kepayahan, kelaparan dan gizi buruk   tak tertahankan. Semua yang tertimpa oleh mereka terus terbayangkan, kehidupan mereka seakan suram, cerminan masa depan telah dialiri  air sungai yang berwarna kuning dan keruh, padahal pendahulu mereka dimobilisasi berbicara pancasila dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada saat persiapan PEPERA 1969, mereka adalah orang-orang Kokoda.

Apakah nalar sejarah negara menjamah semua perjuangan? Saya kira tidak. Mental sejarah negara ini hanya tercatat para orang-orang besar. Jika ingatan sejarah yang demikian buruk, layak kita mewakili sikap-sikap pancasilais? Tidak. Apakah mereka yang diabaikan perjuangan atas negara itu telah  memberontak dan mengangkat panji perlawanan untuk menentang negara? Tidak. Semua terdiam dalam kesabaran atas nama leluhur dan para pendahulu, mereka terlalu baik atas kekeliruan Negara. Kemanusiaan, keadilan, persatuan, kesejahteraan semua itu telah dirindukan dalam diam, sembari daya kerinduan mereka terus melawan stereotipe yang tak usai.

Pancasila yang dirindukan adalah pancasila membawa jalan harapan atas orang-orang Papua, sehingga kita utuh dalam bernegara yang bernama Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun