By. Bustamin WahidÂ
Warga Aimas Sorong Papua Barat
Penting rasanya memulai tulisan ini dengan memohon petunjuk pada yang kuasa Tuhan YME dan leluguh di negeri ini, untuk selalu mendapat pencerahan dan kelurusan dalam penulisan.
Tulisan ini berdiri atas basis epistemik yang berpihak pada sumber pengtahuan dan instrument pengetahuan yang memadi. Tulisan ini juga bukan sekedar reaksi atas polimok kampus saat ini (UM Sorong), yang penuh dengan tatanan politik. Dari hasil riset di tiga daerah ini, kemudian menjadi silogisme ilmiah dalam temah yang disajikan.
Daerah ini punya peradaban yang tinggi, tak seperti yang dianggap oleh belahan barat tentang keterbelakangan orang Timur. Belum lagi kehadiran Negara tidak begitu adil dalam urusan angka-angka, begitu muda orang timur disudutkan dengan angkat buta huruf (aksara) dst.Â
Kesimpulan Negara yang demikian sadis tanpa merilis bagaiman moralitas dan adabnya orang-orang yang tak bersekolah ini, (orang-orang awam yang berbudaya halus). Kapan Negara ini hadir memberikan mental dan enegri yang positif untuk menghantar rakyat pada titik tertinggi, saya kira minim dan bahkan tidak ada.
Setelah Negara merilis dan mempublikasi data tentang keterbelakangan warga negaranya, tiba-tiba mendadak menyusun proyek dari penjuru sudut dan berdalil bahwa dengan program ini akan memberi motif perubahan kepada wagra negaranya.
Ternyata hujung-hujungnya adalah menghasilkan pogram/proyek instan (1-7 hari s/d sebulan) tapi menginginkan perubahan dasiat. Hei..... "jangan merindukan gerakan air baah jika, yang kalian ramuk adalah setiti embun pengharapan".
Literasi dan Gerakan Intelektual di Papua
Tulisan saya sebelumunya tentang "Ritus Kecerdasaan di Tanah Papaua" di blog kompasiana.com, dan sebelumnya beberapa tulisan tentang pendidikan adat kambik suku Moi telah kami rujuk termasuk karya Stevanus Malak tentang etnografik masyarakat Moi. Literasi gerakan intelektual kita harus sampai pada penalaran orang-orang Moi, suda berabad-abad lamanya orang Moi praktek tentang kecerdasaan dan pembentukan pemikiran.
Literasi dan gotong royang membangun pemikiran menjadi tradisi dan ritus yang sakral, artinya bahwa orang-orang Moi mendambakan diskurus pemikiran dan kecerdasaan hingga menjangkau ruang kesakralan. Mereka bergotong royong mempersipakan syarata peserta untuk pendidikan adat hingga persiapan logisitik (pangan) untuk kebutuhan para peserta (intelektual).