Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stephen Hawking dan Kontradiksi Pendidikan di Indonesia

17 Maret 2018   23:53 Diperbarui: 18 Maret 2018   00:06 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stephen Hawking telah meninggalkan kita, para manusia yang haus lompatan pemikiran. Pemikiran Stephen Hawking yang sulit dipahami oleh para awam, termasuk saya, sesungguhnya seperti sebuah kapsul waktu yang ditanam disebuah roket yang akan terbaca pada waktunya saat usia roket itu sudah habis. Pemikiran yang jauh melampaui teori sains dibuku-buku pelajaran sekolah, tidak akan habis dikaji sebagaimana halnya pemikiran para filsuf kuno zaman Yunani dulu. 

Namun tidak demikian halnya dengan situasi terkini yang sering dikatakan sebagai "Kids Zaman Now". Mereka sedikit yang perduli dengan pemikiran yang penuh hitungan fisika, apalagi matematika, fisika, dan kimia, adalah pelajaran yang kalah saing dengan game semacam Mobile Legend. 

Disisi lain, membaca berturut-turut ulasan Kompas tentang situasi Pendidikan di Indonesia terkini dari 12 Maret hingga 16 Maret 2018, lagi-lagi membuat kening berkerut. Terbersit pertanyaan "Mengapa masalah pendidikan yang sama masih terus berulang dari tahun ke tahun ?"   

Mendidik siswa menjadi jenius jelas tidak mungkin. Karena orang yang berotak jenius adalah Kehendak Tuhan dan itu seimbang dengan prinsip hukum alam, ada kelebihan ada kekurangan. Seorang yang jenius tentu tidak berpenampilan seperti foto model, yang "sempurna" fisiknya dari atas sampai bawah. Kejeniusan justru membutuhkan cara mendidik dan mengajar yang lebih daripada anak biasa. 

Terlebih guru dan siswa jenius diibaratkan seperti saling adu cepat menguasai ilmu pengetahuan. Namun sayangnya banyak yang salah kaprah. Mulai dari kebijakan pusat, kurikulum, hingga para pendidik seperti ingin cepat-cepat dan sebanyak mungkin menghasilkan para siswa jenius, hebat, dan pintar. 

Padahal ketimpangan antara kebijakan dan kondisi di lapangan masih besar, ketimpangan fasilitas antara satu sekolah dengan sekolah lain, antara satu kota/ kabupaten dengan kota/kabupaten lain, dan antara satu provinsi dengan provinsi lain.

Pendidikan hendaknya dibaca sebagai sebuah proses mendidik yang tidak perlu dibatasi waktu dan kebijakan. Pendidikan tidak perlu diperdebatkan hingga ke detail. Namun harus ditujukan untuk satu visi ke depan. Dimana para siswa yang diajar dan dididik sudah menjadi manusia dewasa yang hidup dan besar di zamannya, bukan zaman saat dia masih bersekolah. 

Sehingga untuk menjangkau pemikiran Stephen Hawking tentang masa depan bumi dan manusia, perlu diubah paradigma pendidikan saat ini. Pendidikan harus mau berubah karena memang seiring pergantian milineal, sesuai pula hukum alam, siapa yang mampu beradaptasi dia yang akan bertahan, maka perubahan itu bukan lagi kebutuhan ataupun tuntutan, melainkan kenyataan ataupun fakta di depan mata. Yaitu fakta yang sebenarnya sudah lama tampak namun diabaikan. Berikut fakta yang diabaikan :

  • Fakta pertama adalah bahwa guru kini tidak lagi menjadi sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan di sekolah.
  • Fakta kedua adalah tempat belajar tidak harus berupa gedung sekolah.
  • Fakta ketiga adalah keterampilan khusus lebih berarti daripada nilai semua pelajaran.
  • Fakta keempat adalah ijazah tidak menentukan kualitas seorang anak didik.
  • Fakta kelima adalah pendidikan adalah sebuah proses perubahan pola pikir, sikap, dan mental, dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik yang memerlukan waktu yang berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Kelima fakta tersebut kini seakan sebagai gulungan besar salju yang sedang meluncur turun dengan kecepatan penuh ke arah tumpukan masalah pendidikan di Indonesia yang semakin menggunung. Kelima fakta diabaikan sejak orde lama hingga sekarang, tersebab para pemegang kebijakan sangat yakin dengan teori diatas kertas. Ironinya kertas pulalah yang menjadi tolok ukur penilaian seorang guru dihadapan para penilai. 

Entah sudah berapa ton tumpukan kertas dokumen maupun pemberkasan yang harus diprint dan berhasil atau dibuang karena ada kesalahan. Begitu pula berapa ton kertas berupa majalah dan koran yang mengulas tentang pendidikan namun hanya menjadi salah-satu topik berita yang kemudian dijual ke pedagang barang bekas. 

Sementara nasib anak bangsa dari Sabang sampai Merauke sejak tumbuh kembang dimasa balita mulai dari taman kanak-kanak hingga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, begitu beragam. Namun sebaliknya pola pikir, sikap, dan mental hasil didikan bertahun-tahun dan dari satu generasi ke generasi berikutnya tetap sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun