Karena penasaran perihal Ray dan keluargannya, pagi hari berikutnya aku memberanikan diri bertanya kepada Ical, kakak temanku Yuni, yang juga temannya Ray. Sesampainya di rumah Yuni, beruntung aku dapat langsung menemui Ical. Sebab biasanya Ical kuliah dan pulangnya malam.
“Wah ada apa nih, kok tiba-tiba menanyakan tentang Ray ?” Ical tersenyum dikulum.
“Penasaran, ingin tahu saja,” aku menjawab sebisaku.
“Kata Ray, kalian sempat kencan seminggu ini, ya ?” Ical menggoda.
“Enggak kok, Cuma ngabuburit bersama saja,” jawabku malu-malu.
“Iya juga gak apa-apa kok. Sebab enggak rugi mendapat cowok seperti Ray,” Ical memancing rasa ingin tahuku lebih lanjut.
“Cowok kan banyak, tidak hanya Ray. Selain itu aku juga masih bersekolah, belum terlalu serius memikirkan masalah cowok,” aku menahan gengsi.
“Ray orangnya beda. Dua orang kakaknya kuliah di Amerika, semuanya sudah memperoleh gelar master,” Ical berkata tenang sambil tersenyum.
“Benarkah ?” aku terkejut, serius sungguh terkejut.
“Benar, Ray adalah anak bungsu. Sebenarnya dia ada di sini karena libur kuliah. Dia kan mahasiswa tingkat akhir. Kuliahnya di Islamic International University di Malaysia, jurusan Ushuluddin,” Ical kembali menjelaskan.
Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Ah, betapa bodohnya aku. Menilai orang hanya dari luarnya saja. Aku jadi malu sendiri. Aku cepat-cepat memohon diri untuk pulang. Sesampainya di rumah, aku baru ingat lupa menanyakan alamat rumah Ray. Baik yang di Jakarta maupun di Semarang.