Komisi Yudisial merupakan lembaga yang terlahir sebagai akibat dari tuntutan reformasi terhadap peradilan di Indonesia. Eksistensi Komisi Yudisial tidak hanya sebatas pada apa yang termaktub dalam amanat konstitusi, melainkan sebuah lembaga eksternal yang memiliki tugas yang berkenaan dengan pengawasan kehakiman.
Lebih daripada itu, Komisi Yudisial berperan dalam melaksanakan fungsi checks and balances agar di dalam kekuasaan kehakiman dapat tercipta kondisi yang seimbang, merdeka, dan bebas. Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana lembaga ini bersifat independen dan diberikan kewenangan untuk melakukan pengangkatan hakim agung dan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Perlu kita ketahui cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak mungkin tercapai hanya dengan membiarkan peradilan berjalan sendiri tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas melalui pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial.
Keberadaan Komisi Yudisial sangat penting, selain karena merupakan amanat dari konstitusi, juga didasarkan penegasa bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan atas hukum dituntut adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri bebas dari pengaruh pihak manapun, dan ini sebenarnya merupakan cita-cita yang bersifat universal sebagaimana diputuskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-7 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara produktif reformasi, menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum. Sejauh ini, Mahkamah Konstitusi telah merespon harapan publik melalui proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Namun, dalam beberapa tahun ini telah muncul beberapa kritik tajam terhadap MK dalam pelaksanaan tugas, fungsi serta kewenangannya.
Baik mengenai institusi MK itu sendiri maupun mengenai tindakan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pengawasan terhadap hakim konstitusi(memperluas kewenangan KY dalam mengawasi hakim MK).Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa KY tidak berwenang dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Artinya bahwa hakim konstitusi bukanlah subjek yang harus diawasi oleh Komisi Yudisial. Hal tersebut berimplikasi pada kewenangan Komisi Yudisial yang terdegradasi.
Padahal jika ditinjau lebih dalam, amendemen UUD NRI 1945 tidak pernah menyebutkan bahwasanya hakim konstitusi bukan termasuk pengertian hakim.
Dengan tidak pernah disebutkannya hakim konstitusi masuk pada lingkup yang diawasi KY, bukan berarti hakim konstitusi dapat di tafsirkan bukan bagian dalam ranah pengawasan KY, Sebagai konsekuensi dari putusan MK tersebut, MK diawasi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang tupoksinya telah dilegitimasi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 tentang 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Adanya MKMK tersebut menciptakan kondisi yang dilematis bagi posisi KY dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Perjalanan waktu ternyata menjadikan MK sebagai lembaga super body yang tanpa pengawasan, dan memanfaatkan kemandirian itu untuk mengakali hukum agar lepas dari jeratan hukum.
Diawali dengan penangkapan Akil Mukhtar pada Oktober 2013 lalu yang menghenyak publik karena rentetan kasus korupsi Akil yang sudah menggurita. Lalu kembali terjadi dengan ditangkapnya hakim MK yang lain, Patrialis Akbar dengan kasus yang sama yakni korupsi.Oleh karena itu, berkaca pada masalah diatas ada dua langkah yang patut dilakukan untuk menjaga marwah MK kedepan.Pengawasan eksternal hakim MK mutlak diperlukan. Dua kasus korupsi Akil dan Patrialis sudah cukup menjadi bukti bahwa kewenangan tanpa pengawasan berpotensi besar terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh MK.
Pengawasan hakim MK memang tidak serta menjamin hilangnya korupsi dan pelanggaran lain secara total di tubuh MK, namun paling tidak dapat menekan seminimal mungkin potensi penyalahgunaan wewenang. Kata 'hakim' dalam Pasal 24B UUD 1945 harus ditafsirkan secara ekstensif bahwa yang dimaksud adalah termasuk hakim MK.
Pengawasan sama sekali tidak akan mengganggu imparsialitas hakim MK dalam memutus perkara, justru sebaliknya dapat menjaga martabat dan integritas hakim MK dalam menangani perkara.
Mekanisme pengawasan internal yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi pada kenyataannya belumlah optimal karena tidak terlepas daritekanan MK sendiri. Hal ini terbukti dari pelanggaran ketuaMK yang sudah beberapa kali dan termasuk pelanggaran berat, namun sanksi yang diberikan sangat ringan.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan amanat konstitusi, maka dibutuhkan perluasan kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK.Adapun langkah untuk mewujudkan perluasan kewenangan KY dalam mengawasi MK adalah dengan mengamandemen UUD atau memperluas tafsiran Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H