KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) sebagai sebuah elemen pekerja atau buruh pada tanggal 3 November 2020 mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) paska sehari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ditandatangani Presiden Joko Widodo. Tidak menutup kemungkinan, langkah sejenis diikuti unsur-unsur komunitas lain seperti parpol, mahasiswa, ormas, emak-emak ataupun mereka yang menggunakan jalur individu, yakni; politisi, pengusaha, akademisi, kepala daerah dll.
Banyak kelompok maupun perorangan menggugat lewat jalur hukum dan ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin baik. Namun dalam tulisan singkat ini, penulis tidak membahas hal ini. Membahas pengamanan sidang gugatan di MK terasa lebih penting. Sebab, pengalaman sebelumnya, sidang di MK selalu disertai dengan pengetatan pengamanan. Selain itu berkaca dari pengamanan demonstrasi-demonstrasi sebelumnya, soliditas TNI-Polri di lapangan belum kokoh sebagaimana yang diwacanakan.
Implementasi dan Antiklimaks sinergitas TNI-PolriÂ
Mengawali jabatannya sebagai Panglima TNI pada Desember tahun 2017, Marsekal Hadi memperkuat sinergi dengan kepolisian yang Kapolrinya masih dijabat Jenderal Tito Karnavian. Begitu jabatan Kapolri jatuh pada Jenderal Idham Azis, sinergitas militer dan kepolisian tetap berlanjut serta ditingkatkan. Kedua aparat barangkali telah memperoleh penekanan dari Presiden agar tetap kompak.
Kekompakan sejak awal bertugas ini harus dibangun karena tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Namun, sinergitas di tingkat pimpinan tidak selalu berjalan mulus dan hambatan psikologis di tingkat bawahan muncul karena sinergitas kedua institusi selalu mengesankan "TNI membantu Polri".Â
Polri memang menjadi ujung tombak, tetapi kata 'perbantuan' secara psikologis tidak menegaskan adanya pembagian tanggungjawab yang jelas di lapangan. Panglima TNI selaku pemilik otoritas pengerahan kekuatan biasanya akan memberikan kepercayaan perbantuan kepada AD, AL (marinir) atau AU (Paskhas). Hanya sesuai pengalaman perbantuan, pengerahan kekuatan selalu diprioritaskan dari AD. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, sebagaimana dua Kepala Staf lainnya, memainkan posisi yang penting.
Bagaimana sinergitas TNI-Polri kita nilai? Demo memprotes hasil Pilpres 2019 pada tanggal 22 Mei berujung rusuh dan mengakibatkan korban jiwa. Menurut klaim Gubernur Anies Baswedan terdapat 6 orang meninggal dunia. Selain itu juga terjadi pembakaran kendaraan milik warga dan aparat kepolisian serta penyerangan terhadap asrama Brimob.
Kerusuhan itu sengaja diskenariokan untuk membangun antipati dan kebencian kepada pemerintah dengan menyalahkan  petugas. Rentetan peristiwa anarkis tersebut adalah cerminan dari sinergitas yang tidak pernah berjalan mulus. Di satu sisi, ketika demo anarkis berusaha diatasi dengan penghadangan yang maksimal, kepolisian cenderung menjadi obyek kesalahan. Karena tugas TNI dilihat sebagai perbantuan, tugasnya seakan menjadi tersamar dan tidak mendapatkan tuntutan yang sebanding dari publik untuk menjaga keamanan. Malah dalam masyarakat, terjadi pembelahan antara kedua institusi di mana TNI cenderung mendapatkan simpati dan kepolisian malah sebaliknya. Bahkan simpati dan antipati tersebut turut dilakukan oleh prajurit, sebagaimana yang kita lihat dalam bukti yang beredar dalam demo tahun 2020 ini.
Demo tanggal 8 Oktober 2020 bertujuan mendesak pemerintah mencabut Omnibus Law UU Ciptaker yang sudah disahkan oleh DPR RI tanggal 5 Oktober dan menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Unjuk rasa tersebut berlangsung marathon sejak tanggal 6 Oktober hingga berakhir bentrok antara pendemo dengan polisi pada tanggal 8 Oktober yang terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Medan.
Dalam demonstrasi, sejumlah pos polisi dan halte dibakar, fasilitas umum dan gedung DPRD dirusak, dan sejumlah coretan tidak senonoh di dinding fasilitas publik ditujukan kepada Jokowi. Hasil investigasi terhadap para perusuh yang tertangkap mengungkapkan adanya motif politik berupa hoax dan hasutan yang bersumber dari WhatsApp Grup Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) agar situasi demonstrasi berubah menjadi chaos. Mabes Polri mengamankan 8 aktivis KAMI di lokasi yang berbeda, di mana tiga dari delapan orang yang diamankan, yaitu Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat, merupakan petinggi KAMI.
Namun di balik kinerja kepolisian yang sukses mengungkapkan dalang kerusuhan, beredar tiga macam video yang sangat bertentangan dengan komitmen sinergitas dari pimpinan TNI-Polri. Video satu menggambarkan umpatan dan makian prajurit karena kepolisian menembakan gas air mata hingga masuk ke dalam markas TNI AD. Video Dua menunjukkan seorang prajurit berpangkat kopral duduk di atas sepeda motor dengan pakaian loreng, menerima salam satu persatu dari pendemo sambil mengucapkan hati-hati dan jaga kesehatan.
Terakhir, video ketiga, para prajurit berpakaian loreng berbaur dengan pendemo yang mengucapkan kata-kata "sabar, sabar" dan direspon para pendemo dengan ucapan "terima kasih pak TNI". Sekilas, ketiga video di atas menunjukkan sesuatu yang lumrah dan manusiawi. Namun bila dilihat lebih jauh, terdapat adanya insubordinasi dari prajurit yang mengangkangi sinergitas yang dicanangkan kedua pimpinan seandainya menghadapi unjuk rasa bernuansa chaos. Tentu saja aparat kepolisian akan sangat terbebani, manakala citarasa sinergitas terdegradasi oleh tindakan yang ditampilkan seperti di dalam ketiga video tersebut.
Dalam video satu aksi polisi membubarkan masa anarkis dengan gas air mata diprotes oleh Prajurit TNI hanya karena semprotan tersebut masuk ke markas TNI. Dalam video kedua dan ketiga kita lihat dengan jelas bagaimana prajurit membangun citra negatif aparat polisi di tengah pendemo, seakan-akan polisi adalah kelompok yang berbahaya bagi para pendemo.
Sinergitas yang buruk antara TNI-Polri sebenarnya bisa diendus dari beberapa kasus lain yang konteksnya tidak mesti berkaitan dengan situasi politik tingkat tinggi. Pada bulan Desember 2018 terjadi penyerangan ke Polsek Ciracas oleh oknum TNI yang mengakibatkan ruang Polsek hancur dan beberapa kendaraan rusak. Sampai sekarang, proses investigasi Tim 3 matra TNI belum menemukan titik terang.
Dua tahun berselang, pada bulan Agustus 2020, terjadi lagi serangan kedua ke Polsek Ciracas yang mengakibatkan sebuah mobil terbakar serta 2 anggota polisi terluka. 29 prajurit TNI AD sudah diproses sebagai tersangka dengan sanksi pemecatan. Jenderal Andika Perkasa selaku pimpinan AD meminta maaf atas terjadinya kasus ini. Tentu, dua kali penyerangan ke Polsek Ciracas bukan lagi kesalahan insidentil bawahan semata.
Mentalitas prajurit yang melakukan penyerangan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pimpinan. Hal ini membuat kita mengambil kesimpulan yang jelas bahwa, sebelum TNI bersinergi dengan kepolisian, pembinaan internal prajurit, khususnya AD, karena memang paling banyak dilibatkan dalam perbantuan, menjadi sangat penting. Doktrin untuk menjaga keamanan di tengah masyarakat perlu terus dibangun, agar prajurit tidak menjadi bagian dari konflik sehingga melakukan penyerangan terhadap polsek atau menjadi pemecah belah di tengah masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan 3 video dalam konteks demonstrasi di atas.
Landasan UU RI 34 tahun 2004: Siapkah TNI-Polri Amankan Sidang MK?
UU RI Nomor 34 tahun 2004, Bab IV (Bagian Ketiga) tentang Tugas, Pasal 7, Ayat (2) b. Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menyatakan pada butir 10 bahwa TNI sah "Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang". Didasarkan oleh UU yang melegalkan perbantuan kepada pihak Polri, maka seluruh prajurit TNI baik matra Darat, Laut dan Udara berpangkat terendah sampai dengan tertinggi wajib menerima perintah atasan untuk membantu kepolisian, termasuk penanganan unjuk rasa serta mencegah munculnya kerusuhan.
Untuk menjalankan tugas sinergitas tersebut, sudah menjadi kewajiban bagi masing-masing matra untuk membina prajuritnya sebelum mengikuti perintah Panglima TNI dalam menjalin sinergitas dengan Polri sehingga tidak terjadi tindakan pembangkangan di lapangan. Karena kualitas prajurit ditentukan oleh jalannya pembinaan, maka baik buruknya perilaku prajurit di lapangan adalah cermin keberhasilan ataupun kegagalan para Kepala Staf Angkatan yang mengemban tanggungjawab pembinaan tersebut. Jadi Kepala Staf Angkatan mempunyai peran penting dan patut diminta pertanggung jawaban ketika prajuritnya melakukan pembangkangan dalam mengamankan jalannya demonstrasi, termasuk mengamankan Sidang Gugatan UU Ciptaker mendatang.
Namun, siapkah TNI-Polri bersinergi mengamankan sidang? Kelengkapan perangkat perundang-undangan sudah ada. Niat untuk membangun sinergi sudah lama terpupuk dan menjadi bagian dari habitus pengamanan di Indonesia. Maka, pengamanan Sidang Gugatan UU Ciptaker semestinya sudah sangat siap. Tapi, ketidaksiapan dalam bersinergi yang dimunculkan melalui pembangkangan prajurit di lapangan, bisa jadi muncul dari faktor non teknis.
Apabila TNI masih konsisten dengan pameo "tidak ada prajurit yang salah, yang salah komandannya", maka alangkah elok bila loyalitas atasan serta kemampuan memimpin dikritisi kembali. Jika tidak, anak buah akan mencontoh ketidakmampuan pimpinannya bahkan menunjukan sikap tidak loyal terhadap atasannya.
Seandainya ditemukan karakter semacam ini, pemimpin tersebut memang layak untuk diganti dan dijauhkan dari tangungjawab-tanggungjawab dalam jabatan lain. Apalagi bukan tidak mungkin, pembangkangan yang dilakukan oleh beberapa prajurit tersebut adalah upaya sistematis yang dilatari oleh instruksi atasan. Hal ini perlu diatasi agar kejadian tidak terpuji yang mencemarkan nama baik TNI, sebagaimana yang dimunculkan dalam kasus-kasus yang di jelaskan di atas, tidak kembali terjadi.
Apabila benar waktu pelaksanaan Sidang Gugatan UU Ciptaker di MK digelar masih dalam situasi pandemi covid 19, maka pemerintah akan menghadapi kondisi politik dan keamanan yang tidak jauh berbeda dengan kejadian tanggal 8 Oktober lalu. Ada kemungkinan aspek ancaman akan berbeda, karena aktivis KAMI sebagian sudah diciduk dan beberapa daerah seperti Yogyakarta menolak anarkisme. Namun unsur utama pegiat demo seperti buruh, mahasiswa dan ormas kemungkinan tetap akan melibatkan diri. Ataupun barangkali Front Pembela Islam (FPI) akan berpartisipasi mengingat Habib Rizieq Shihab, pimpinannya akan kembali tanggal 9 November 2020.
Lokasi utama yang menjadi sasaran demonstrasi terfokus pada lokasi gedung MK di Jakarta, sedangkan pendemo juga akan melakukan aksi tersebar di beberapa kota besar dan kecil seperti Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Medan, Semarang, Banten, Bekasi dan Malang. Setidaknya aparat keamanan sudah memperoleh garis besar aksi demo yang akan dihadapi, karena penyampaian aspirasi memang dilindungi oleh undang-undang. Adapun yang tidak boleh terjadi adalah pemaksaan kehendak oleh pengunjuk rasa dan terulangnya aksi anarkis yang membuat aparat kecolongan karena sinergi TNI-Polri tidak solid.
Untuk mencegah kebobolan, maka selain memastikan prajurit di lapangan patuh terhadap instruksi perbantuan, sosok atasan yang loyal 100% dilengkapi kemampuan leadership yang tinggi paling menentukan. Ini perlu diatasi, sehingga tidak mengancam kewibawaan pemerintah dan Negara gara-gara aparat di lapangan tidak mampu mengatasi chaos.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI