Terakhir, video ketiga, para prajurit berpakaian loreng berbaur dengan pendemo yang mengucapkan kata-kata "sabar, sabar" dan direspon para pendemo dengan ucapan "terima kasih pak TNI". Sekilas, ketiga video di atas menunjukkan sesuatu yang lumrah dan manusiawi. Namun bila dilihat lebih jauh, terdapat adanya insubordinasi dari prajurit yang mengangkangi sinergitas yang dicanangkan kedua pimpinan seandainya menghadapi unjuk rasa bernuansa chaos. Tentu saja aparat kepolisian akan sangat terbebani, manakala citarasa sinergitas terdegradasi oleh tindakan yang ditampilkan seperti di dalam ketiga video tersebut.
Dalam video satu aksi polisi membubarkan masa anarkis dengan gas air mata diprotes oleh Prajurit TNI hanya karena semprotan tersebut masuk ke markas TNI. Dalam video kedua dan ketiga kita lihat dengan jelas bagaimana prajurit membangun citra negatif aparat polisi di tengah pendemo, seakan-akan polisi adalah kelompok yang berbahaya bagi para pendemo.
Sinergitas yang buruk antara TNI-Polri sebenarnya bisa diendus dari beberapa kasus lain yang konteksnya tidak mesti berkaitan dengan situasi politik tingkat tinggi. Pada bulan Desember 2018 terjadi penyerangan ke Polsek Ciracas oleh oknum TNI yang mengakibatkan ruang Polsek hancur dan beberapa kendaraan rusak. Sampai sekarang, proses investigasi Tim 3 matra TNI belum menemukan titik terang.
Dua tahun berselang, pada bulan Agustus 2020, terjadi lagi serangan kedua ke Polsek Ciracas yang mengakibatkan sebuah mobil terbakar serta 2 anggota polisi terluka. 29 prajurit TNI AD sudah diproses sebagai tersangka dengan sanksi pemecatan. Jenderal Andika Perkasa selaku pimpinan AD meminta maaf atas terjadinya kasus ini. Tentu, dua kali penyerangan ke Polsek Ciracas bukan lagi kesalahan insidentil bawahan semata.
Mentalitas prajurit yang melakukan penyerangan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pimpinan. Hal ini membuat kita mengambil kesimpulan yang jelas bahwa, sebelum TNI bersinergi dengan kepolisian, pembinaan internal prajurit, khususnya AD, karena memang paling banyak dilibatkan dalam perbantuan, menjadi sangat penting. Doktrin untuk menjaga keamanan di tengah masyarakat perlu terus dibangun, agar prajurit tidak menjadi bagian dari konflik sehingga melakukan penyerangan terhadap polsek atau menjadi pemecah belah di tengah masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan 3 video dalam konteks demonstrasi di atas.
Landasan UU RI 34 tahun 2004: Siapkah TNI-Polri Amankan Sidang MK?
UU RI Nomor 34 tahun 2004, Bab IV (Bagian Ketiga) tentang Tugas, Pasal 7, Ayat (2) b. Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menyatakan pada butir 10 bahwa TNI sah "Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang". Didasarkan oleh UU yang melegalkan perbantuan kepada pihak Polri, maka seluruh prajurit TNI baik matra Darat, Laut dan Udara berpangkat terendah sampai dengan tertinggi wajib menerima perintah atasan untuk membantu kepolisian, termasuk penanganan unjuk rasa serta mencegah munculnya kerusuhan.
Untuk menjalankan tugas sinergitas tersebut, sudah menjadi kewajiban bagi masing-masing matra untuk membina prajuritnya sebelum mengikuti perintah Panglima TNI dalam menjalin sinergitas dengan Polri sehingga tidak terjadi tindakan pembangkangan di lapangan. Karena kualitas prajurit ditentukan oleh jalannya pembinaan, maka baik buruknya perilaku prajurit di lapangan adalah cermin keberhasilan ataupun kegagalan para Kepala Staf Angkatan yang mengemban tanggungjawab pembinaan tersebut. Jadi Kepala Staf Angkatan mempunyai peran penting dan patut diminta pertanggung jawaban ketika prajuritnya melakukan pembangkangan dalam mengamankan jalannya demonstrasi, termasuk mengamankan Sidang Gugatan UU Ciptaker mendatang.
Namun, siapkah TNI-Polri bersinergi mengamankan sidang? Kelengkapan perangkat perundang-undangan sudah ada. Niat untuk membangun sinergi sudah lama terpupuk dan menjadi bagian dari habitus pengamanan di Indonesia. Maka, pengamanan Sidang Gugatan UU Ciptaker semestinya sudah sangat siap. Tapi, ketidaksiapan dalam bersinergi yang dimunculkan melalui pembangkangan prajurit di lapangan, bisa jadi muncul dari faktor non teknis.
Apabila TNI masih konsisten dengan pameo "tidak ada prajurit yang salah, yang salah komandannya", maka alangkah elok bila loyalitas atasan serta kemampuan memimpin dikritisi kembali. Jika tidak, anak buah akan mencontoh ketidakmampuan pimpinannya bahkan menunjukan sikap tidak loyal terhadap atasannya.
Seandainya ditemukan karakter semacam ini, pemimpin tersebut memang layak untuk diganti dan dijauhkan dari tangungjawab-tanggungjawab dalam jabatan lain. Apalagi bukan tidak mungkin, pembangkangan yang dilakukan oleh beberapa prajurit tersebut adalah upaya sistematis yang dilatari oleh instruksi atasan. Hal ini perlu diatasi agar kejadian tidak terpuji yang mencemarkan nama baik TNI, sebagaimana yang dimunculkan dalam kasus-kasus yang di jelaskan di atas, tidak kembali terjadi.