Mohon tunggu...
burhan rayatullah
burhan rayatullah Mohon Tunggu... Editor - Kritik dan Otokritik Landasan Demokrasi

Cinta adalah Kunci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Benarkah Aktor Intelektual Pembunuhan Munir "Saved by the Bell"oleh Kematian Pollycarpus?

21 Oktober 2020   12:51 Diperbarui: 21 Oktober 2020   12:54 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" telah meninggal dengan tenang Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah mantan pilot yang juga oknum yang menjadi agen lapangan dalam membunuh aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalid. Pollycarpus dikabarkan meninggal pada Sabtu kemarin, 17 Oktober 2020 sore hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Penyebab meninggalnya adalah sakit Covid-19 yang sudah ia derita selama 16 hari.

Kematian Pollycarpus ini dikonfirmasi oleh Badaruddin Andi Picunan, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya. Ia mengonfirmasi bahwa Pollycarpus telah berjuang selama dua minggu lebih untuk sembuh dari virus Corona. Istri Pollycarpus, Josephina Hera, saat ditanyai wartawan melalui chat WhatsApp pada hari Sabtu menyampaikan bahwa suaminya akan disemayamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur.

Sebelumnya, Pollycarpus memang diberi pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada akhir tahun 2014 sekitar bulang November. Sosok yang memang terbukti bersalah dalam pembunuhan munir ini telah menjalani hukuman penjara selama delapan tahun. Padahal putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 14 tahun penjara. Sebelumnya hukuman kasasi MA menjatuhkan vonis lebih berat yaitu 20 tahun penjara.

Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir merespon kematian Pollycarpus ini sehari setelah ia meninggal yaitu pada Minggu, 18 Oktober 2020. Komite ini adalah kumpulan aktivis dan pegiat HAM yang selama ini concern dalam mengawal proses peradilan terhadap pembunuhan Munir. Sebagaimana yang dilansir detikcom, Suciwati, istri Munir, mengungkapkan belasungkawa. Namun, ia menegaskan bahwa, kematian Pollycarpus tidak berarti bahwa pengusutan kasus Munir terhenti.

Melalui KASUM, Suciwati menilai bahwa kasus Munir terhambat bukan karena ketiadaan bukti, tetapi tidak munculnya kemauan politik. Namun, lebih tepatnya bukan kemauan, tetapi keberanian. Apa bisa Jokowi, yang adalah seorang sipil, membongkar kasus pembunuhan yang didalangi oleh orang berlatar militer? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja tidak bisa, apalagi seorang Jokowi? Tetapi tidak berarti bahwa pengungkapan dalang pembunuhan Munir ini kehilangan semangat.

Usman Hamid, mewakili Amnesty International Indonesia, mendorong agar pengusutan kasus Munir tidak berhenti. Sebab, ada banyak sekali penemuan bukti yang dihadirkan di persidangan usai ditelurusi oleh Kepolisian dan Tim Pencari Fakta. Bagi Usman kendala dalam pengusuan kasus tersebut tidak terletak pada aspek teknis pembuktian. Sama seperti Suciwati, ia menilai ini adalah persoalan kehendak politik negara dalam mengupayakan langkah hukum.

Usman mendorong agar rekomendasi pertama dari Tim Pencari Fakta mengenai pembentukan tim investigasi independen perlu dilakukan. Tugas tim investigasi, menurutnya, adalah menelusuri nama-nama lain yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Sebab sangat tidak mungkin Pollycarpus bergerak sendiri. Pasti ada aktor intelektual di belakangnya. Belajar dari negara lain, tim ini bisa meniru investigasi penyelidikan kematian John F. Keneddy yang memunculkan Komisi Warren.

Sebagaimana yang kita ketahui, Dokumen Laporan yang disusun oleh Tim Pencari Fakta dalam mengusut pembunuhan Munir hilang. Hilangnya dokumen ini diketahui pada tahun 2016, pertengahan Februari. KontraS waktu itu mendatangi kantor Sekretariat Negara dan mendesak Negara untuk mengumumkan hasil laporan TPF. Karena dokumen itu dinyatakan hilang, KontraS kemudian melakukan gugatan terhadap Kemensetneg.

Pengadilan memenangkan gugatas KontraS atas Kemensetneg dan memerintahkan Kementerian tersebut untuk mengumumkan dokumen TPF. Namun, Kemensetneg tetap menjawab bahwa mereka tidak memiliki dokumen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk menekan laju pengungkapan dalang pembunuhan Munir agar tidak sampai menyentuh nama-nama tertentu. Lalu apa motif utama pembunuhan Munir?

Ada dugaan Munir dibunuh karena ia memegang data terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kasus Talangsari. Munir juga memegang data terkait penculikan aktivis di tahun 1998. Bahkan ia juga memegang bukti adanya kampanye hitam pada pemilihan presiden tahun 2004. Lebih sensitif lagi, Munir mengantongi data valid terkait dalang pembunuhan Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001 yang melibatkan nama Andika Perkasa (sekarang KSAD), menantu AM Hendropriyono.

Keterkaitan dengan Hendropriyono memang cukup kuat mengingat Hendro waktu itu adalah Kepala Badan Intelijen Negara. Dalam hasil temuan tim investigasi telah terjadi kontak komunikasi antara anggota BIN dan Pollycarpus.  Ada bukti yang kuat bahwa Hendro berusaha kuat menghalangi Munir untuk mengungkapkan data pelanggaran HAM. Keterangan ini mengemuka dalam kesaksian Kolonel Budi Santoso, Deputi Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN.

Dalam kesaksiannya kepada penyidik di Kualalumpur pada 7 Mei 2008, tempat yang baik baginya untuk bersaksi karena ia mengaku akan dihabisi bila ke Indonesia, Budi mengatakan bahwa pernah ada rapat internal di BIN untuk membahas Munir. Direktur Imparsial tersebut dinilai BIN akan menjual negara dengan data-datanya yang akan ia bawa ke Belanda untuk Studi Hukum di Utrecht Universiteit. Budi mengatakan bahwa Hendropriyono meminta agar upaya Munir itu dicegah.

Pujiyono, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mengatakan bahwa dengan meninggalnya Pollycarpus, proses pengungkapan dalang akan menemui kendala yang besar bagi aparat penegak hukum. Tapi, menurut Pujiyono, proses pengungkapan tersebut tidak mesti hanya berasal dari informasi tunggal pelaku utama semata, yang dalam hal ini adalah Pollycarpus. Tapi semuanya itu kembali pada pertanyaan dasar. Apakah Negara mau?

Pollycarpus mungkin meninggal secara normal karena Covid-19. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kematiannya membawa keuntungan bagi mereka yang diduga sebagai aktor intelektual pembunuhan Munir. Dengan meninggalnya Pollycarpus, pelaku sekaligus saksi hidup, aktivis HAM harus berjuang lebih keras untuk menghadapi benteng kekuasaan. Kalau pun Negara mau, apakah ia berani? Kemauan tanpa keberanian hanya membuat penuntasan kasus ini berjalan seperti biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun