Suara alarm panel tekanan Oksigen Sentral menderit, tak hanya di ruang saya beranjak namun dari ruang-ruang lainnya se- Rumah Sakit.
Dering telepon tak pernah berhenti, baik telepon meja atau telepon ruang jaga menuju tiap kamar pasien. Jerit kepanikan pasien terdengar baik dari sisi selatan ataupun sisi utara.
Sementara doorloop depan nampak keluarga penunggu mulai naik lewat tangga, meski pada hari normal tidak diperkenankan ada orang umum berada di lokasi ini.
Yang dinas pagi telah mempersiapkan cadangan 4 tabung oksigen besar berada di luar dekat pintu utara, 3 tabung oksigen kecil, dan 3 mesin oksigen portable. Saat operan jaga, sudah dikasih tahu tentang kondisi persediaan oksigen sentral yang sedang kritis.
Dalam situasi tergesa sesegera memakai apd sesempurna mungkin. Saya lelaki lebih cepat berdandan dibanding 3 perempuan teman jaga saya.
Saya punya prioritas kamar mana yang harus saya masuki dulu dari 27 tempat tidur yang terpisah oleh ruangan jaga, dan hanya boleh sekali lewat. Karena bila salah lewat akan membuat kontaminasi dan menyebarkan penyakit.
Â
Saya lari sembari menyeret mesin oksigen portable yang mirip mesin pompa aquarium. Saya masuk kamar no B tempat tidur sisi timur.
Langsung colokan listrik mesin portabel, saya pasang selang kanul nasal sembari melepas selang nrm yang mengcover mulut dan hidung pasien yang dalam keadaan tersengal-sengal.
Harapan saya, ini tindakan sementara sebelum saya berhasil memasang manometer pada tabung kecil yang berada di balik pintu. Karena kemampuan mesin oksigen portable dibawah 5 liter sedangkan pasien nrm butuh 9 liter.
Untung manometer belum terpasang pada tabung kosong sebelumnya, sehingga tanpa kunci Inggris bisa saya pasang pada tabung baru meski kurang kencang. Segera mesin portable saya gantikan dengan oksigen tabung kecil. Meski masih nafas tersengal tapi tak sedangkal sebelumnya. Perkiraan tabung kecil mampu dipakainya untuk 10 menitan.
Saya segera lari menyeret mesin oksigen portable ke kamar no A.
"Ibuk tenang, jangan panik, mesin ini bisa hasilkan oksigen untuk ibuk, dan bapak aman bapak lebih aman dibanding ibuk.. " kata saya menenangkan, karena si pasien terus nunjuk-nunjuk ke arah suaminya yg juga dirawat sekamar dengannya.
"Sabar ya pak... " kata saya sebelumnya lari ke arah kamar lain.
Di ujung terlihat teman perempuan saya sudah selesai dandan, saya kasih kode untuk lanjutkan masuk kamar B.
Saya langsung buka pintu sisi luar sisi utara untuk masukan tabung besar, sialan berat sekali dan tak ada troli. Akhirnya tabung saya tidur kan saya glundingkan, gak peduli nabrak meja meja yang ada disekitarnya.
Dalam posisi panik, nyari kunci Inggris juga gak ketemu. Akhirnya manometer saya lepas lagi dari tabung kecil kecil lagi. Belum bisa masang di tabung besar.
Saya balik keluar, ambil tabung besar lagi. Saya bawa ke sisi selatan yang berjarak hampir 200 meter. Bingung karena gak alat buat bawa. Terlihat ada troli pengusung barang di ujung, tabung saya golingkan pada troli.
Glonthaaaaaannnng....
Karena bukan troli peruntukan tabung oksigen. Kondisi darurat, apa boleh buat. Membentur tembok kanan kiri, karena tabung panjang dalam posisi tidur.
Saya langsung menunju kamar G tempat tidur sisi timur disana sudah terpasang tabung ukuran besar dan sudah ada orang memakai hasmad kayak saya. Kamar G aman.
Saya langsung lari ke kamar 6 yang bersebelahan, ada tabung oksigen kecil yg sudah ada manometernya. Tanpa tanya langsung saya pasangkan. Ternyata pasien punya oksigen kecil dari rumah.
Saya ingat kamar, 5 sisi timur sejak 2 hari yang lalu paling sesak, tapi alhamdulillah aman.
Saya langsung menuju kamar G lagi, tapi baru saja melangkah terlihat 2 orang memakai hasmad menggotong tabung besar.
Saya baru ingat, tidak ada teman lelaki yang jaga dan tak mungkin 3 perempuan teman saya mengangkat tabung sebesar itu.
"Sampeyan siapa mas kok ambil oksigen sendiri?" bentak saya.
"Saya keluarga pasien G, ini tabung buat persediaan bapak saya. " jawabannya.
"Sampeyan keluar, tidak ada orang lain yang boleh berada di dalam sini kecuali pasien dan petugas. " bentak saya.
"Saya sendiri yang masang tabung buat bapak, mengapa saya di suruh pergi.. " protes dia.
Sayang geram, kunci Inggris dalam genggaman saya ikut bergetar.
"Oksigen buat bapak sampeyan cukup sampai tengah malam, Bapak sampeyan pakai nasal kanul gak sampai tengah malam aman... " jelas saya.
Tapi yang saya jelaskan malah tambah marah.
"Rumangsamu yen wis masang oksigen terus awakmu ngatur aku... Ayoo keluar!!!" bentak saya.
2 orang tersebut langsung keluar, pintu saya kunci dari dalam. Ternyata mereka memanjat jendela sehingga bisa masuk.
Para keluarga tahu karena hampir setiap pasien membawa ponsel sehingga bisa ngabari yang di luar.Â
Setelah melihat kondisi semua pasien di sisi selatan aman, saya balik ke ruang sisi utara memutar lewat doorloop depan.
Saya balik ke kamar 02, selama saya tinggal di selatan sudah habis 3 tabung kecil. Dan langsung saya pasang tabung besar. Saya balik keluar lagi ambil tabung besar untuk saya dekatkan ke kamar 02 sekaligus untuk amankan tabung.
Saya balik ke kamar A, ibunya mulai rewel. Minta mesin portable buat suaminya.
"Ibuk... Bapak aman, ini tadi ibuk saya prioritaskan makai alat ini daripada pasien lain. Kalau ibuk kasihan sama suami, ibuk bisa pinjamkan mesin ini pada suaminya.. mau? " dia diam gak menjawab. Solusi teratasi.
Sementara pasien kamar B sudah memakai tabung besar ke 2, berarti tinggal punya tabung besar di sisi selatan.
Perhitungan saya pasokan tabung akan datang tengah malam. Kamar G cukup sampai tengah malam, kamar 2 butuh 1 lagi tabung besar lagi sampai tengah malam sehingga nanti yang jaga malam bisa ambil di sisi selatan. Kamar 1 aman, sedangkan kamar 6 punya oksigen sendiri 2 tabung. Sedangkan mesin portable selain di kamar A juga saya pasang di kamar 5, sisa 1 buat situasi lebih darurat lagi.
Azan Isya sayup-sayup terdengar, sampai tidak sempat asyar dan magrib. Saya kembali ke tiap kamar, saya yakinkan aman. Saya pamit dari balik pintu dengan lambaian tangan dan mereka membalasnya.
Kami berempat melewati ruang  dekontaminasi, melepas apd dengan hati mulai helm, kaca mata google, celemek, hasmad, sepatu boots, dan semprot berulang ulang pakai desinfektan. Baju dalaman kami basah keringat, dan langsung menunju kamar mandi untuk mandi keramas dan ganti baju yang bersih.
Â
Kami mengalami seperti ini tidak sendiri, di ruang samping saya, ruang  atas saya, rumah sakit lain bahkan nakes-nakes dimanapun berada dalam situasi pandemi ini.
Oksigen kolaps mirip kejadian Tragedi Tintanic. Luar biasa capeeeeeek.Â
Maaf tulisannya pakai HP, pasti banyak typo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H