Festival Nasional Reog Ponorogo XXV resmi ditutup semalam. Festival yang memperebutkan Piala Presiden tersebut digelar saban tahun menjelang tahun baru Hijriyah (1 Suro), bersamaan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kontingen Seni Reyog Universitas Brawijaya berhasil mempertahankan dominasi juara selama 3 tahun berturut-turut.  Sehingga sedari awal penampilannya sudah ditunggu-tunggu. Penyandang juara bertahan tersebut mempunyai data tarik tersendiri.Â
Menurutnya seni Reyog terus berkembang dari waktu ke waktu, dan ini tidak bisa dipungkiri. Bagaimana awal sejarah seni Reyog dimulai, sampai para penari yang awalnya khusus kaum lelaki seperti khas kesenian Jawa Timuran. Yang terus berevolusi dengan masuknya penari perempuan. Dari seni jalanan (obyokan) sampai seni panggung. Dari seni pinggiran sampai menjadi seni teatrikal.
Imam Restu Rizal menceritakan, bagaimana pihak Universitas Brawijaya menjaring bibit penari khususnya Reyog. Sedari para calon mahasiswa masih duduk di di bangku SMU. Bagaimana pihaknya memberikan tiket khusus bagi calon mahasiswa-mahasiswi yang mempunyai bakat seni. Tak hanya akademis segi sosial budaya juga getol digarapnya.Â
Sehingga tak heran beberapa waktu yang lalu Reyog Universitas Brawijaya menjadi duta seni di mancanegara bergabung dengan duta-duta seni dari negara lain.
Ada kontingen berasal dari kesatuan TNI AU Singo Dirgantoro, Singo Watu Ireng dari Polres Muara Enim, dan Kodam V Brawijaya.
Ada Bank BNI 46, ada perwakilan Pemda Pacitan, Wonogiri, Madiun, Batu, Malang, Ambulu Jember, DKI Jakarta, Surabaya yang totalnya 34 peserta.
Pada pidato penutupan Bupati Ponorogo Ipong menyatakan keotimisan diakuinya kesenian khas Reyog oleh badan dunia UNESCO semakin terbuka lebar.