Dalam WA group riuh, ada rencana dadakan hunting landscape di Pacitan. Padahal jam pulang kantor masih 2 jam-an lagi. Saya ragu antara bisa berangkat atau tidak, karena kantor baru senggang di atas jam 2 siang. Saya tidak berani bolos, apalagi  belum sempat pre-pare peralatan dan bekal.  Saya putuskan bisa ikut bila di atas jam 2 siang. Akhirnya teman-teman mengalah menunggu sepulang kerja, dan hanya 4 orang termasuk saya yang bisa berangkat.
Perkiraan perjalanan 3 jam, sehingga kami segera bergegas dengan harapan bisa mendapatkan sunset di pantai Pangasan. Berkumpul di warung kopi yang biasa kami pakai mangkal, kami berangkat memakai 3 motor, salah satu orang dari kami berboncengan. Pemilihan kendaraan motor karena medan yang akan kami tuju masih terjal dan belum ada jalan selain jalan setapak yang biasa dipakai warga untuk berladang. Motorpun tidak bisa menjangkau lokasi, butuh jalan kaki 2-3 km melewati pematang dan pinggiran sungai.
Jam 4 sore kami sudah sampai kota Pacitan, mampir swalayan untuk beli makanan dan minuman sebagai bekal. Sekaligus mau membayar hotel lewat swalayan, Â 2 kamar hotel yang kami pesan lewat Pegipegi sebelum keberangkatan.Â
Namun petugas swalayan yang asli Pacitan menyarankan jagan dibayar dulu, dengan alasan lokasi pantai Pangasan jauh dari kota, seandainya saja bisa sampai lokasi kalau kembali ke hotel baru pagi harinya. Selain itu sisa kamar dalam situs tersebut masih banyak, karena kebetulan bukan hari libur.
Kami harus segera bergegas karena perjalan masih jauh. Pantai Pangasan, yang terletak di dusun Batulapak, Desa Kalipelus kecamatan Kebonagung Pacitan. Melewati JLS (Jalan Lintas Selatan), sesampainya fly over gayam ambil arah yang menuju pertigaan arah ke Balai Desa Kalipelus, ada tugu di tengah pertigaan.Â
Pertigaan ini belok kiri dan tak lama kemudian bertemu pertigaan lagi ambil yang kiri, selanjutnya akan melewati SD Kalipelus di kanan jalan, kemudian Balai Desa Kalipelus, setelah itu jalan mulai menurun. Selanjutnya jika bertemu pertigaan ambil jalan yang kiri. Jalan kemudian masuk jalan tanah menyusuri punggungan bukit.
Kami berjalan kaki sekitar 2-3 km menelusuri pematang dan jalan setapak. Hari mulai gelap, kamipun memakai lampu kepala untuk menerangi jalan. Sawah-sawah yang kami lewati baru saja panen, sehingga lebih leluasa tidak merusak tanamam bila terpaksa terpeleset dari pematang. Meski tak mendapatkan sunset kami masih beruntung karena cuaca cerah, dan nampak bulan purnama sudah mulai semurat di tebing sebelah timur.
Tenda kami dirikan di persawahan yang baru saja panen, ada 2 tenda yang terbawa. Setelah sholat magrib berjamaah, kami membuka bekal seadanya sambil menyalakan kompor spirtus untuk membuat kopi dan merebus mie instan.
Takut kemalaman kami bergegas menuruni pematang untuk mencapai bibir pantai yang penuh bebatuan, kami yakin karena bulan purnama pasti kesempatan memotret bebatuan sangatlah pendek. Sebentar lagi pasti pasang, bebatuan akan terendam air, begitupun bibir pantai akan dipenuhi gelombang air.
Dengan begitu ekposure bisa dikendalikan untuk low speed. Milkiway dan sunset tak kami dapatkan, namun kami harus maksimalkan hunting. Air laut semakin meninggi, bebatuan besar sudah mulai terendam, kami harus mundur kembali ke tenda tak mau ambil resiko dengan ganasnya gelombang pantai selatan.
Paginya setelah subuh kami kembali, namun air masih tinggi, gua yang disisi timur tak bisa kami jangkau ketika pasang. Jalan masuknya terendam air, meski bagian dalam aman. Tak jauh dari mulut gua ada kapal tongkang pembawa batubara untuk PLTU yang terdapar karena hempasan gelombang besar. Ini adalah tongkang kedua yang terdampar karena ganasnya gelombang laut selatan dalam setahun ini.
Kami yakin sebentar lagi pantai Pangasan ini akan menjadi tujuan pavorite, seperti halnya pantai Klayar yang lebih terkenal duluan. Ada Gunung Lanang yang mirip candi Prambanan, ada gua di pantai, ada hijaunya persawahan di bibir pantai, ada air terjun yang airnya langsung jatuh ke laut saat musim penghujan, ada kawanan monyet hutan yang hidup bebas berkeliaran.Â
Gunung Lanang ini menurut warga sekitar di sakralkan, banyak warga setempat maupun luar kabuapten yang melakukan ritual di tempat ini. Sedangkan gunung Ganjuran berada di sisi timur, yang mirip gugusan gunung memanjang.
"Dibantu promosi nggih mas, lewat foto-fotonya..." pinta kepala desa saat kami berpamitan pulang menuju tempat parkir motor. Kepala desa berharap desanya bisa berkontribusi buat wisata Indonesia seperti daerah-daerah di Pacitan lainya.Â
Dia yakin tempat wisata panta Pangasan ini bisa bersaing dengan pantai-pantai lain di Pacitan, hanya saja kondisi akses jalan saat ini yang menjadi persoalan. Dia memperkirakan dengan jalan yang dibuat swadaya oleh warganya, kendaraan roda dua bisa menjangkau lebih dekat, nantinya bisa tinggal jalan 500 an meter, dan bertahap kendaraan bisa mendekati bibir pantai. Masyarakatnya juga bersukarela merekan kebun atau sawahnya untuk disumbangkan buat pelebaran jalan.
Kami akan datang lagi, dengan persiapkan dengan matang. Kami belum puas, butuh waktu 3-4 hari menyelusuri pantai-pantai Pacitan yang masih belum mainstrems. Kami harus rencanakan matang, dan Pegipegiyuk sangat membantu.Â
Tak perlu ribet untuk pesan hotel, mengekplour pantai-pantai Pacitan butuh waktu 3-4 hari mau tidak mau harus nginap. Seperti Kalong, saat yang lainya pulang kami harus berangkat pergi.Â
Saat yang lainya pergi kami harus tidur. Jadi hotel kami pakai di siang hari, sore menjelang senja sampai matahari terbit kami harus mengejar moment. ganasnya ombak yang menyambar kamera saya, tak membuat kapok datang lagi. beruntung setelah hampir sebulan kamera saya di servis sudah siap berangkat lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H