Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mbah Semi dan Cerita Kopi yang Telah Menghidupinya

23 Februari 2018   07:45 Diperbarui: 23 Februari 2018   09:09 2490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Semi, cerita tentang kopi yang telah menghidupinya (dokumentasi pribadi)

Saya sering berlama-lama nongkrong di warung kopi kecil milik Mbah Semi ini. Terkadang dalam sehari bisa 3-4 kali. Pagi ketika berangkat bekerja, siang pulang kerja, sore, ataupun menjelang malam.

Kopinya lumayan segar, tidak seperti kopi lain di warung-warung Ponorogo yang cenderung rasanya pahit nyetak khas kopi robusta. Di warung ini rasa kopinya cenderung masam dan terasa kecut, hal ini yang menjadi ciri khas.

(dokumentasi pribadi) Seribu lima ratus rupiah untuk secangkir kopi, harga yang tak sebanding dengan ribetnya
(dokumentasi pribadi) Seribu lima ratus rupiah untuk secangkir kopi, harga yang tak sebanding dengan ribetnya
(dokumentasi pribadi) Warung kecil di depan rumah peninggalan suaminya
(dokumentasi pribadi) Warung kecil di depan rumah peninggalan suaminya
Selain kopi yang menjadi daya tarik di warung ini adalah Mbah Semi penjualannya. Usianya telah lewat angka 90 tahun, tubuhnya renta untuk berjalan saja sempoyongan karena fisiknya bongkok. Jualan kopi semenjak suaminya meninggal di tahun 70-an. Warungnya kecil berada di depan rumah peninggalan suaminya, setiap hari berjualan mulai jam 7 pagi sampai jam 8-an malam.

Pantang menjadi peminta, selagi tubuh rentanya masih  sanggup  bekerja, kopi akan terus ia jajakan. Kondisi fisik bukan alasan untuk dikasihani, katanya.

Awalnya jualan kopi namun jatuh bangkrut, berganti toko kelontong namun tak lama juga bangkrut juga. Suatu saat pernah datang ke orang pintar (paranormal), katanya usaha yang cocok dan akan menghidupi adalah dagangan yang tak jauh dari bungkusan daun pisang. Mbah Semi tak begitu saja percaya, baru sadar setelah beberapa tahun berjualan nasi pecel. Di Ponorogo jualan nasi pecel hampir selalu disertai minuman kopi. Terutama yang jualan pagi dan sore hari.

Dia baru sadar nasi pecel dipincuk dari  daun pisang, ceritanya sambil tertawa lepas. Tapi bukan nasi pecel saja yang dicari di warungnya yang sebagian besar pembelinya kaum lelaki, racikan kopinya yang membuat kaum lelaki mengunjungi warungnya kembali.

(dokumentasi pribadi) Meski usianya lebih 90 tahun, matanya masih tajam mencatat pemasukan, pengeluaran, serta yang kas bon
(dokumentasi pribadi) Meski usianya lebih 90 tahun, matanya masih tajam mencatat pemasukan, pengeluaran, serta yang kas bon
Menurut mbah Semi, dulu dia sediri yang belanja kopi di pasar, dia pilih biji kopi warna hijau kecil-kecil pada pedagang biji kopi di pasar. Disangrainya sendiri di rumah memakai kreweng (kuali tanah). Ditumbuk memakai lumping kayu, lalu menaruh kopi dalam rodong ( semacam toples yang terbuat dari kaca) agar kedap udara. Baginya mengurus kopi seperti menurus anak harus telaten dan setiti, meski mbah Semi tak mempunyai anak (keturunan). Ia memakai arang kayu untuk perapian merebus air dalam panci, rasa air yang direbus memakai minyak dengan air yang dimasak memakai dengan arang sangat berbeda katanya.

Menimba air sendiri, dia lakukan sedari muda (dokumentasi pribadi)
Menimba air sendiri, dia lakukan sedari muda (dokumentasi pribadi)
Kondisinya yang sudah renta membuat para pembeli selayaknya penjual, menuangi air panas sendiri pada cangkir yang telah diisi racikan kopi. Para pembeli membantu memberesi cangkir kotor, meladeni pembeli lainya, bahkan menimba air di sumur.

Baru 3 bulan ini harga secangkir kopi dinaikan menjadi  1500 rupiah yang tadinya cuma seribu, mungkin hal ini juga yang membuat ramai warungnya. Seringkali pula para pembeli tak mengambil uang kembalian, mungkin ndak tega.

Untuk jajanan gorengan ia hargai 500 rupiah, harga yang sangat murah untuk saat ini. Jajanan titipan para tetangga begitu pula nasi bungkusnya, semenjak tenaganya sudah banyak berkurang. Sambil menolong tetangga katanya, kecuali tahu dan pisang goreng dia sendiri yang menggoreng.

Meski usianya lebih 90 tahun dia belum pikun, masih jeli membedakan mana uang ribuan, puluhan ribu, ataupun ratusan ribu. Bisa menerima keadaan dan selalu bersyukur tentang apa saja yang ia dapat.

Perbincangan di warung kopinya mulai dari politik, budaya, ekonomi, pertanian, sampai pertandingan bola. Telinga dan otaknya menjadi perekam setiap obrolan mereka yang datang dan pergi. Ia juga hapal tentang penyakit yang sedang banyak diderita masyarakat, kebetulan warungnya dekat pratikan dokter dimana para pengantar atau keluarga sering mampir ngopi sambil nunggu antrian.

Ia juga tahu betul tangisan dan susahnya para pengemudi becak yang beralih ke bentor, namun dilarang oleh pihak pemda, di warung inilah para pengemudi tersebut sering mangkal.

(dokumentasi pribadi) Mengurus kopi selayaknya mengurus bayi, kata Mbah Semi harus setiti
(dokumentasi pribadi) Mengurus kopi selayaknya mengurus bayi, kata Mbah Semi harus setiti
Sampai kapan Mbah Semi akan jualan kopi? Sampai badannya yang renta tak bisa bangun lagi, katanya. Kopi yang telah menghidupinya, dan kopi yang selalu membuatnya merasa muda. Kecintaannya pada kopi tak terbantahkan lagi, suka duka menjadi penjual kopi telah dilakoni.

Suka duka menjadi penjual kopi telah ia lalui. Jatuh bangun, pahit getir, masam manis kopi akan kopi sudah ia rasakan. Kopi telah menghidupinya, karena kopi ia bertahan sampai saat ini.

Cintanya pada kopi akan terus ia lakukan dengan tidak memakai kopi sachet-an yang tinggal digunting, atau kopi yang sangrai pabrik yang tinggal giling. Ia ndak tega pada pelangganya yang puluhan tahun menikmati kopinya. Katanya cuma cari praktisnya pasti pelanggan akan lari.

Lelaki kok minum kopi gunting? Candanya. Menurutnya kopi yang baru dipilah, diolah, dan diracik sendiri lebih terjamin rasanya dan sangat berbeda dengan kopi sachet. Itu alasan mengapa ia tak memakai kopi sachet meski lebih mudah tinggal menggunting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun