Perbincangan di warung kopinya mulai dari politik, budaya, ekonomi, pertanian, sampai pertandingan bola. Telinga dan otaknya menjadi perekam setiap obrolan mereka yang datang dan pergi. Ia juga hapal tentang penyakit yang sedang banyak diderita masyarakat, kebetulan warungnya dekat pratikan dokter dimana para pengantar atau keluarga sering mampir ngopi sambil nunggu antrian.
Ia juga tahu betul tangisan dan susahnya para pengemudi becak yang beralih ke bentor, namun dilarang oleh pihak pemda, di warung inilah para pengemudi tersebut sering mangkal.
Suka duka menjadi penjual kopi telah ia lalui. Jatuh bangun, pahit getir, masam manis kopi akan kopi sudah ia rasakan. Kopi telah menghidupinya, karena kopi ia bertahan sampai saat ini.
Cintanya pada kopi akan terus ia lakukan dengan tidak memakai kopi sachet-an yang tinggal digunting, atau kopi yang sangrai pabrik yang tinggal giling. Ia ndak tega pada pelangganya yang puluhan tahun menikmati kopinya. Katanya cuma cari praktisnya pasti pelanggan akan lari.
Lelaki kok minum kopi gunting? Candanya. Menurutnya kopi yang baru dipilah, diolah, dan diracik sendiri lebih terjamin rasanya dan sangat berbeda dengan kopi sachet. Itu alasan mengapa ia tak memakai kopi sachet meski lebih mudah tinggal menggunting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H