Saya sering berlama-lama nongkrong di warung kopi kecil milik Mbah Semi ini. Terkadang dalam sehari bisa 3-4 kali. Pagi ketika berangkat bekerja, siang pulang kerja, sore, ataupun menjelang malam.
Kopinya lumayan segar, tidak seperti kopi lain di warung-warung Ponorogo yang cenderung rasanya pahit nyetak khas kopi robusta. Di warung ini rasa kopinya cenderung masam dan terasa kecut, hal ini yang menjadi ciri khas.
Pantang menjadi peminta, selagi tubuh rentanya masih  sanggup  bekerja, kopi akan terus ia jajakan. Kondisi fisik bukan alasan untuk dikasihani, katanya.
Awalnya jualan kopi namun jatuh bangkrut, berganti toko kelontong namun tak lama juga bangkrut juga. Suatu saat pernah datang ke orang pintar (paranormal), katanya usaha yang cocok dan akan menghidupi adalah dagangan yang tak jauh dari bungkusan daun pisang. Mbah Semi tak begitu saja percaya, baru sadar setelah beberapa tahun berjualan nasi pecel. Di Ponorogo jualan nasi pecel hampir selalu disertai minuman kopi. Terutama yang jualan pagi dan sore hari.
Dia baru sadar nasi pecel dipincuk dari  daun pisang, ceritanya sambil tertawa lepas. Tapi bukan nasi pecel saja yang dicari di warungnya yang sebagian besar pembelinya kaum lelaki, racikan kopinya yang membuat kaum lelaki mengunjungi warungnya kembali.
Baru 3 bulan ini harga secangkir kopi dinaikan menjadi  1500 rupiah yang tadinya cuma seribu, mungkin hal ini juga yang membuat ramai warungnya. Seringkali pula para pembeli tak mengambil uang kembalian, mungkin ndak tega.
Untuk jajanan gorengan ia hargai 500 rupiah, harga yang sangat murah untuk saat ini. Jajanan titipan para tetangga begitu pula nasi bungkusnya, semenjak tenaganya sudah banyak berkurang. Sambil menolong tetangga katanya, kecuali tahu dan pisang goreng dia sendiri yang menggoreng.
Meski usianya lebih 90 tahun dia belum pikun, masih jeli membedakan mana uang ribuan, puluhan ribu, ataupun ratusan ribu. Bisa menerima keadaan dan selalu bersyukur tentang apa saja yang ia dapat.