Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makna Bedol dan Kirab Pusaka di Hari Jadi ke-521 Ponorogo

1 Oktober 2017   07:50 Diperbarui: 1 Oktober 2017   15:02 4473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ketiga pusaka yang akan diinapakan di gedung pusaka di Kota Lama

Suara bende memecah kesunyian malam dan menjadikan suasana semakin magis. Jalur protokol  sudah steril dari lalu lalang kendaraan bermotor, Polisi dan dinas perhubungan telah mengalihkan jalur lalu lintas dari jalan yang akan dilalui "bedol pusaka". Jalur dari pendopo kabupaten Ponorogo tempat bernaung 3 pusaka andalan Ponorogo menuju ke Gedong Setono kompleks makam pendiri kabupaten Ponorogo. 

Di komplek tersebut bersemayam Raden Bathoro Katong beserta keluarga, kerabat, dan pengikutnya yang turun-temurun. Di komplek makam di kota Lama ini pusaka akan diinapkan dan keesokannya akan dikirab lagi ke tempat semula di pendopo kabupaten Ponorogo. Bersamaan kirab pusaka dalam rangka grebeg Syuro dan hari jadi Ponorogo yang ke 521.

topo bisu, berjalan tanpa bicara hanya berdzikir dalam hati sepanjang jalan
topo bisu, berjalan tanpa bicara hanya berdzikir dalam hati sepanjang jalan
para sesepuh Ponorogo mengikuti bedol pusaka
para sesepuh Ponorogo mengikuti bedol pusaka
ketiga pusaka yang akan diinapakan di gedung pusaka di Kota Lama
ketiga pusaka yang akan diinapakan di gedung pusaka di Kota Lama
Pusaka tersebut adalah Sabuk Cinde Puspito,Payung Songsong Tunggul Wulung dan Tombak Tunggul Nogo. Para pembawa pusaka melakukan "topo bisu", tanpa bisara begitu pula para pengiringnya. Hanya suara gong bende yang terdengar.

Thung... thung... gung....

Masyarakat yang menunggu sepanjang jalan yang dilewati langsung terdiam, mereka menepi. Seperti memberi hormat pada rombongan yang mau lewat, bende ditabuh adalah pertanda ada maklumat penting atau ada pembesar kerajaan yang akan lewat.

Lampu PLN sepanjang jalan yang dilalui mati, hanya penerangan dari oncor yang dibawa oleh pengiring dan oncor yang sedari sore sudah dipersiakan di jalur yang akan dilalui rombongan.

Rombongan diberangkatkan dari pendopo agung kabupaten Ponorogo jam 00:00 dan sekitar jam 3 pagi rombongan baru sampai di Kota Lama komplek makam Raden Katong pendiri Ponorogo. Mereka berjalan kaki melewati empat wilayah kecamatan. Kecamatan Ponorogo, kecamatan Babadan, kecamatan Siman, dan terakhir kecamatan Jenangan. Merka diam tanpa bicara, dalam hati terus melafatkan doa seperti yang kakek-kakek mereka lakukan jaman dulu. 

Pakaian mereka mencerminkan para pejabat jaman dulu, jaman awal-awal Islam berkembang di Ponorogo. Perpaduan antara Jawa Ponoragan dan Islam.

Cinde Puspito diserahkan dan selanjutnjat disimpan di gedung pusaka di komplek makam raden Katong
Cinde Puspito diserahkan dan selanjutnjat disimpan di gedung pusaka di komplek makam raden Katong
tombak tunggul wulung
tombak tunggul wulung
Sesampai di komplek makam pusaka diterima oleh pak Nardi juru kuci makam dan selanjutnya dilakukan doa bersama dan genduri sebagai wujud syukur semuanya berjalan sesuai harapan.

Pak Nardi mengatakan, inilah situasi dulu ketika Islam masuk di Ponorogo. Bagaimana Ki Ageng Mirah sebagai utusan Demak Bintoro tetap menghormati adat dan kebiasaan orang Ponorogo. Sehingga waktu itu Islam cepat berkembang pesat di Ponorogo, bahkan menjadi kadipaten Islam satu kurun waktu dengan Demak Bintoro. Ki Ageng Mirah datang lebih dulu mempersiapkan segala sesuatunya, dan setelah itu Raden Katong adik Raden Patah yang datang.

Ketiga pusaka yang dikirab adalah Sabuk Cinde Puspito,Payung Songsong Tunggul Wulung dan Tombak Tunggul Nogo. Merupakan pusaka yang dipakai Raden Bathoro Katong untuk menyebarkan Islam di Ponorogo, pergolakan penolakan masuknya Islam pernah terjadi, dan ketiga pusaka tersebut pernah menjadi saksi dan berperan waktu jaman itu.

doa bersama dan seusai bedol pusaka.
doa bersama dan seusai bedol pusaka.
larut dalam doa meski menjelang subuh
larut dalam doa meski menjelang subuh
pendopo makam komplek makam Raden Katong
pendopo makam komplek makam Raden Katong
Sapto Jatmiko kepala dinas Pariwisata mengatakan, terlepas suasana magis tidaknya ini merupakan bentuk pelestarian budaya. Agar generasi sekarang mengetahui bagaimana cikal bakal Ponorogo, bagaimana Islam berkembang di Ponorogo, apa saja yang dulu terjadi, dan benda-benda bersejarah tersimpan dan terawat meski usianya sudah sudah tua.

"Biar kita sama-sama tahu sejarah, sehingga kita bisa bercerita pada anak cucu, dan tidak gampangan kaget bila tiba-tiba kebudayaan kita di klaim negara lain seperti seni reyog dulu." Imbuhnya.

"Ini lo... senjata andalan Ponorogo waktu itu, jangan sampai pusaka bersejarah tersebut rusak ataupun terlepas dari Ponorogo bahkan terbawa sampai luar negeri..." kata kepala dinas pariwisata tersebut. Pusaka tersebut sudah berumur lebih 500 tahun, karena perawatan yang seksama sehingga pusaka-pusaka tersebut masih bisa disakskan sampai sekarang ini. Dan ini menjadi tugas dinas yang dipimpinnya, selain melestarikan juga mempromosikan agar kasanah budaya Ponorogo bisa dinikmati orang dari luar Ponorogo bahkan luar Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun