Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebangkitan Jathil Lanang dalam Seni Reog Ponorogo

17 September 2017   14:44 Diperbarui: 18 September 2017   09:49 5205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di akhir tahun 80-an keberadaan penari jathil lanang (lelaki)  tergantikan dengan jathil perempuan. Dengan segala kontroversi masa itu terutama tentang isue hubungan sesama jenis sesama lelaki.

Alasan lain menurut mas Oky tahun 1991  TMII meminta jathilan perempuan untuk reog akan ditampilkan diperhelatan di TMII tersebut, dengan alasan waktu itu jathil perempuan lebih menjadi daya tarik.

Dengan perubahan tersebut perlahan kontroversi gemblak juga berangsur memudar, meskipun sampai sekarang makna gemblak tiap daerah berbeda.

Intervensi dari kalangan agamawan kala itu cukup memberi andil, tak hanya pada kesenian reog. Sampai-sampai orang kelompok yang tidak setuju jathilan lelaki membuat group kesenian jaran kepang, terutama pemuda remaja masjid di daerah Pulung dan Sooko.

Di awal 2017 tahun ini, nampak ada semacam kerinduan pada masa silam. Ingin mengembalikan seperti jaman dulu.

kebangkitan jathilan lanang di berbagai kecaatan di Ponorogo
kebangkitan jathilan lanang di berbagai kecaatan di Ponorogo
Melawan Isu Homoseksual

Munculnya jathil lanang di beberapa daerah, seringkali tampil jathilan lelaki pada reog obyogan. Mulai lagi ada anak lelaki yang berlatih jathilan di daerah daerah pinggiran. Muncul juga istilah sebutan untuk kegiatan seperti jaman sebelum tahun 90-an sebagai pertanda bila kesenian itu tidak statis, menyesuaikan jaman.

Mas Dirman seusai tampil menjadi jathil lanang di desa Bedingin (beberapa hari yang lalu ) mengatakan, dia mencintai reog, dia akan melakukan segala hal untuk kemajuan reog.

mas Diman Jathil dan warok
mas Diman Jathil dan warok
jathilan lanang yang sering di terpa isue homoseksual
jathilan lanang yang sering di terpa isue homoseksual
Mas Dirman keberatan Jathilan lanang disamakan dengan gemblak, tidak semua gemblak adalah jathil, dan tidak semua jathil adalah gemblak. Mas Dirman juga kecewa kalau gemblak dihubungkan dengan homosexual. Ini sangat kontras dengan yang dialaminya sewaktu muda masih menjadi jathil lanang.

Menurut dia gemblak tak beda dengan cantrik, tugasnya melayani warok. Sedangkan warok atau pengasuh gemblak tak ubahnya sebagai orang tua asuh. Mas Dirman sangat berterima kasih pada warok, para jathilan lelaki atau ada yang menyebut gemblak bisa mencicipi sekolah lebih tinggi, sampai menjadi orang (berhasil). Mas Dirman juga tidak menampik kalau sebagian dari jathil lanang pada jamannya ada yang menjadi kurban pelecehan sexual oleh oknum warok.

jathilan lanang dan warok
jathilan lanang dan warok
Mas Dirman dalam status Facebooknya mengatakan, meskipun hanya gemblak atau jathilan, kepribadian, unggah-ungguh, trapsilo kesopanan itu harus nomer satu jika tidak ingin warok yang mendidik kita marah. Bahkan tidak menutup kemungkinan keluar kasar dan bringas jika sudah menyangkut adab sopan santun yang dilanggar oleh gemblak atau jathilan. Karena itu harga diri para warok juga dipertaruhkan dalam pergaulan sosial masyarakat.

Lebih lanjut mas Dirman mengatakan, warog tak ubahnya guru. Guru dalam seni, kepribadian, bahkan sudah dianggapnya sebagai orang tua. Pelaku seni menurutnya lebih dihargai pada masa itu, para penari jathilan diasuh disekolahkan tak ubahnya diberi bea siswa.

Apresiasi luar biasa buat mas Dirman mas Andi Pranata. Kami berkesempatan menikmati gemulainya penari lelaki yang sempat menjadi kontroversi. Meski usia mas Dirman sudah 54 tahun tapi "maaf" kecantikanya tak kalah dengan jathilan perempuan. Bahkan membuat ibu-ibu yang nonton pertunjukan menjadi cemburu karena para suaminya menggoda mas Dirman dan Andi.

Reyog obyog di desa Bedingin Sambit
Reyog obyog di desa Bedingin Sambit
Terima kasih pula pada masyarakat Bedingin Sambit, Nostalgia reog jalanan kembali dapat kami nikmati, rasa reyog jaman tempo dulu bisa kami saksikan.

Mereka menari sambil berjalan di jalan jalan desa, berhenti tiap kali di pertigaan atau perempatan. Antusias penonton melebur dalam keramaian, penonton bergantian menabuh gamelan, dan saling berebut ingin memanggul barongan dadak merak.

Penonton lebur ikut menembang lagu lagu campursari dalam mengiringi jejogetan. Lagu lagu perjuangan tak luput dinyanyikan mumpung perayaan Agustusan  masih berlangsung. Hampir sulit di bedakan mana penonton dan pemain, semua seakan merasa memiliki. Saling menghibur dan saling terhibur, mereka menari, bernyanyi, adzan Magrib yang menghentikan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun