Sepintas tak terlihat apa yang dilakukan anak-anak usia SD di teras depan masjid Sewulan. Suaranya riuh sedang bersendau-gurau dan saling ledek. Suara tawa anak-anak tersebut sangat jelas meski terhalang tembok setinggi leher orang dewasa. Hanya terlihat cipratan-cipratan air di atas tembok penghalang yang berada di depan pintu masjid Sewulan.
Jeglur…
Kropyak…..
Suaranya riuh, membuat penasaran untuk mendekat. Lucu, ternyata mereka sedang koceh (bermain di air). Saling loncat, salto, saling dorong, dalam blumbang (kolam) yang lebarnya tak lebih dari 2x3 meter dengan kedalaman kira-kira sepaha orang dewasa. Blumbangan tersebut berada di kanan kiri dengan penghalang tembok setinggi leher orang dewasa, sementara di antara blumbangan tersebut tidak ditembok dan menjadi jalan masuk menuju masjid. Bagian tengah ini juga berupa kolam sedalam atas mata kaki orang dewasa, dan semua yang masuk masjid akan melewati kolam dangkal bagian tengah ini. Kolam tengah ini tidak dipakai berenang oleh anak-anak.
Sedangkan blumbangan di kanan dan kirinya dipakai untuk mandi setelah bekerja. Lambat laun blumbangan ini menjadi jujugan (tempat favorit) anak-anak untuk bermain. Kala itu mbah Basyariayah terkenal penyayang pada anak-anak, pondok pesantrennya menampung anak-anak dari berbagai daerah. Beliau tidak melarang atau marah pada anak-anak yang sedang ramai, bermain, atau gaduh di masjid dengan syarat ketika waktu sholat tiba bermain harus berhenti. Sejak saat itu masjid menjadi tempat bermain favorit anak-anak, ungkap pak Abdulrohman.
“Sak nakal-nakale bocah, yen ijik gelem dolan menyang masjid kenek didandani..” cerita pak Abdulrohman menirukan mbah Basyariyah kala itu saat ada yang protes masjidnya dijadikan tempat bermain anak-anak. Artinya senakal-nakalnya anak, kalau masih mau pergi ke masjid masih bisa diperbaiki. Kala itu ceritanya sudah ada orang yang merasa terganggu oleh kegiatan anak-anak yang bermain di masjid. Mbah Basyariyah bijaksana dalam berdakwah, bagaimana beliau bisa merangkul anak-anak dan penduduk sekitar Dagangan Madiun untuk masuk agama Islam kala itu.
Yang protes kala itu kalangan orang tua, namun mbah Basariyah mengatakan jika orang tua dibiarkan saja sudah bisa jalan, namun anak-anak adalah calon generasi penerus harus dirangkul betul-betul, cerita pak Abdulrohman.
Kata Sewulan, berasan dari kata sesasi atau sewulan (satu bulan). Waktu dimana Bagus Harun muda (mbah Basyariyah) diutus Kyai Ageng Besari (gurunya) untuk berdakwah setelah menempuh perjalanan satu bulan lamanya dari Tegalsari Ponorogo. Tidak boleh berhenti kalau belum genap satu bulan. Bagus Harun muda pernah diutus gurunya untuk mengawal Kanjeng Paku Buwono kondur ke Surakarta setelah mengungsi ketika Surakarta diserang pasukan Kuning. Sebagai hadiah Bagus Harun dihadiahi pusaka Payung Tunggul Naga, hadiah tersebut dihaturkan pada gurunya namun gurunya menolak karena itu hasil kerja keras Bagus Harun. Oleh Kyai Ageng Besari kalau tidak mau hadiah tersebut harus dikembalikan kepada yang meneghadiahi, Nagus Harunpun kembali ke Surakarta sowan Kajeng Paku Buwono, lagi-lagi panjenengane menolak menerima kembali. Akhirnya Bagus pulang kembali ke Tegalsari Ponorogo. Diceritakan dalam perjalanan mau masuk gerbang keraton terjadi kesalahpahaman dengan prajurit penjaga. Sehingga Bagus Harun dihujani ratusan anak panah dari pasukan panah, Bagus Harunpun berlindung dengan Payung Tunggul Naga Semua anak panah dan tombak tak bisa menembusnya.
Sepanjang perjalanan Bagus Harus merenung, akan bisa membahayakan aqidahnya bila pusaka pemberian sinuwun tersebut di bawa pulang. Takut membuat besar kepala dan lupa Allah sang pencipta. Padahal senjata tersebut haya sebuat alat yang kebetulan oleh Allah diberi kelebihan. Terlebih lagi takut bila anak, cucu, dan keturunannya akan menyalahgunakan pusaka dan lupa akan penciptanya.