✕✕Powered by GreatadsSukesi terus saja memrovokasi Kumbokarno. Dia terus membanding-bandingkan Kumbokarno dengan Wibisono, adiknya. Cibiran dan sangkalan dari Sukesi membuat anaknya Kumbokarno tak berkutik, dan raksasa tersebut hanya bisa geram. Perbedaan pendapat dan perbedaan memposisikan diri dalam menyikapi ulah Rahwana yang menyulik Dewi Sinta istri Prabu Rama semakin runyam dalam keluarga tersebut.
✕Powered by GreatadsSukesi terus menyalahkan Kumbokarno yang pekerjaannya tidur sepanjang tahun. Kalayak menganggap dia raksasa yang berhati bijaksana, namun bagi Sukesi Kumbokarno tak lebih dari pecundang yang penuh ragu tak segera bertindak untuk mengambil keputusan. Kumbokarno peragu dalam mengambil keputusan, antara berpihak pada kebenaran, persaudaraan, atau bela negara. Kumbokarno protes mengapa adiknya malah diijinkan ibunya untuk bergabung dengan musuh. Sementara dia harus berjibaku bela negara karena ulah kakaknya. Perdebatan batin berkecamuk dalam benak Kumbokarno.
Kata banyak orang Dewi Sinta bersedih tapi dia masih bisa bermain gamelan dan mendendangkan lagu tak sesedih kata banyak orang, pikir Kumbokarno. Otak cerdas Kumbokarno mulai main. Wanita itu ternyata jenuh bila bersuami orang yang lugu, orang baik-baik, orang yang lurus-lurus, dan sesekali menginginkan pasangan yang aneh, urakan, berambut gondrong. Sesekali wanita mengingankan punya pasangan yang nakal. Begitupula sebaliknya lelaki ingin coba-coba mempunyai pasangan yang tidak biasa.
Pembawa acarapun unik, dia tampil bak seorang dalang wayang kulit yang membawa gunungan. Penampilanya luar biasa asyik membuat decak kagum peserta Sekolah Literasi Gratis yang diadakan oleh STKIP PGRI Ponorogo.
Baru kemudian Sudjiwo Tedjo, Ulil Maulida editor dari Penerbit Betang Pustaka, dan pembawa acaramemasuki panggung. Sekolah Literasi Gratis tersebut semakinsemarak ketika Sudjiwo Tedjo berdiri memegang mikropon. Tak seberapa lama dia bicara sudah ada peserta yanginterupsi, si peserta merasa aneh dengan cerita tari dan taearikal yang barus dipentaskan. Si peserta merasa kalau Sudjiwo Tedjo merubah cerita pakem pewayangan yang sudah tertulis pada kitab-kitab tua.
Peserta mengatakan Ulil, cantik, mungil, imut-imut, pinter, lucu, sampai Ulil itu tak kasat mata karena yang mengatakan peserta yang berada di luar gedung.
Sudjiwo Tedjo mengatakan inilah yang dinamakan sudut pandang, semua orang boleh mengatakan apa yang bisa dipandangnya, apa yang dilihat, didengar dan kemapuan untuk menangkap tiap orang pasti akan berbeda. Dalam pewayangan juga begitu siapapun dalangnya boleh mengambil sudut pandang, tak ada istilahharam. Hanya mereka saja yang sudah terlanjur nyaman tak ingin kenyamanannya terusik. Begitu pula dalam beragama katanya.
Dalam beragama orang boleh menafsirkan. Beda budaya, beda negara, beda suku, beda bahasa tentunya akan muncul penafsiran yang berbeda pula. Namun agama dan kitab suci tetap menjadi pusat acuan.
Tuhan maha pengasih, Tuhan maha penyayang, Tuhan maha pemurah dan sebagainya adalah hal yang lumprah dan jamak. Namun bila Tuhan maha kejam, Tuhan maha pembalas, Tuhan maha sombong pasti akan akan dicap tak beragama, padahal sejatinya benar. Pengaruh budaya ketimuran seperti Indonesia membuat hal tersebut menjadi tidak etis. Bagi negara yang berbudaya apa adanya bahkan dari negeri asal Islam berkembang hal-hal begitu sudah menjadi keseharian.
Semakin tahu semakin tidak tahu, kata Sudjiwo Tedjo. Semakin tahu Tuhan semakin dia merasa bodoh dan terus berusaha cari tahu tentang Tuhan, ungkapnya. Ini yang dimaksud semakin tahu semakin tidak tahu, seperti halnya peserta yang interupsi. Dia tahu cerita wayang, sehingga ketahuannya ini merasa dibodohi dan berusaha mencari tahu. Beda yang tidak tahu wayang dia akan terus menikmati karena ketidaktahuannya.
Begitu juga dalam bernegara dan berIndonesia, ada berbagai macam penafsiran bela negara, hidup bernegara, hidup beragama dalam satu negara yang majemuk, imbuhnya.
Arimbi berharap dan mengiba pada ibu Bima, Kunti. Bimapun tak kuasa menolak permintaan ibunya Kunti untuk memperistri Arimbi. Dalam cerita umum Arimbi berubah menjadi perempuan cantik dan tak lagi menjadi raksasa. Bagi Sudjiwo Tedjo, Arimbi tidak berubah namun karena cinta Bima oaring yang jelek jadi cantik, orang yang gemuk terlihat langsing. Orang jatuh cinta itu hawanya seperti orang yang buta dan tuli, tak peduli apa yang terjadi, tak peduli kenyataan sebenarnya, kata Sudjiwo Tedjo yang disambut riuh tepuk tangan peserta Sekolah Literasi Gratis.
Menurut Sutejo Literasi tak hanya bermakna membaca atau menulis, Literasi mengarah melek aksara, melek makna, melek wacana, sampai proses komunikasi intensif dalam interaksi social dan keilmuan. Sutejo bangga lebih 90% peserta berusia muda, banyak diantaranya sudah mulai merambah pada dunia tulis menulis pada media cetak. Saban minggu dievaluasi siapa saja yang tulisannya di muat di media masa, sebagai pemicu semua bisa bila mau berlatih dan ada kesungguhan.
~Sutejo Mengundang Sudjiwo Tedjo~
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI