Dia terlahir dengan nama Suparman, namun menjelang menikah namanya diganti Dul Khodir biar hoki katanya. Namanya yang asli kalah beken dengan nama aliasnya, orang lebih mengenal nama mbah Dul Khodir dari pada Suparman. Bukan hanya sekedar pilih nama, nama Dul Khodir diambil dari nama Waliulloh Syech Abdul Qodir Al-Jailani. Tokoh sufie, tokoh ulama yang menjadi panutan teruratama di kalangan warga Nadliyin.
Menurutnya tahun 81 dia mulai merintis warung bersamaan peletakan batu SMA 1 Ponorogo. Namun dalam spanduk di warungnya berangka tahun 1978. Entahlah yang diceritakan angka 81 tersebut. Usiannya kini menginjak 95 tahun tapi cara bertuturnya masih bersemangat sekali, terutama ketika menceritakan jaman keemasan berjualan kopi di warungnya.
Pada jaman tahun tersebut komplek prostitusi di sekitar warungnya baru saja ditutup, WD alias Watu Dakon. Mungkin nama Dul Khodir untuk menghilangkan konotasi daerah hitam bekas prostitusi tersebut. Pelanggannya mulai pegawai, pejabat, mahasiswa, pelajar, sampai sopir truk yang mangkal di dekat warungnya.
Masa jaya warungnya pada tahun 80-90an dimana belum banyak hiburan televisi, dan di warungnya sudah punya televisi. Hiburan televisi berparabola ini menjadi daya tarik pengunjung terutama ketika ada siaran langsung tinju atau bola.
Karena berada di depan sekolahan, warungnya menjadi tongkrongan anak-anak SMA. Banyak anak SMA yang bolos nongkrong di warung kopinya meski pelajaran sudah dimulai. Tak hanya anak SMA 1 tapi anak SMA lain juga nongkrong di warungnya. Hal inilah dia sempat diprotes oleh guru SMA 1 disuruh tutup ketika jam pelajaran. Mbah Dul menolak malah menjawab pada guru tersebut.
“Yen muridmu ora pengin bolos wayah pelajaran, yo sampeyan nunggoni neng warung kene ben muride do wedi…” cerita mbah Dul sambal tertawa. Supaya anak-anak tidak membolos mbah Dul menyarankan pada pak guru untuk mengawasi muridnya dengan duduk berjaga di warungnya.
Sejak saat itu ada guru yang bergantian berjaga di warung mbah Dul, bukannya anak-anak takut tapi malah semakin banyak yang bolos pelajaran dan nongkrong di warung. Siswa-siswa tersebut mengerjai gurunya yang jaga di warung.
“Mbah kopiku melu pak guru…” kata anak-anak waktu itu cerita mbah Dul, anak-anak selalu mengatakan kopi dan makanannya nanti ikut dibayari pak gurunya. Lama-lama pak guru tidak mau nongkrong di warungnya karena dikerjai muridnya untuk membayar menratktir.
Mengaduknya harus memakai perasaan dan teratur dalam mengaduk agar matangnya merata. Tidak boleh terlalu cepat-cepat dan tak boleh terlalu lama. Menggoreng kopi tidak boleh disambi (sambil) mengerjakan pekerjaan lain. Harus fokus diniati tak boleh mengerjakan hal lain, tak boleh memikirkan hal lain selain memikirkan kopi yang berada di depannya. Kopi itu juga punya perasaan katanya, tak ingin diduakan.
Beda dengan orang jaman sekarang tidak telaten memakai api dari arang, lebih suka pakai gas seperti anak-anaknya yang meneruskan warungnya. Orang sekarang katanya tidak sabaran, maunya serba cepat dan praktis. Cepat matang, cepat selesai, sepat dapat uang, cepat kaya gerutunya.
“Tap wis jamanane mas… arep piye maneh.” Tuturnya.
“Siji maneh mas wong dodolan iku ojo sombong, ojo rumongso wis paling enak lan apik dewe… kudu terus sinau…” pesannya. Satu hal orang jualan itu tidak boleh sombong dan berpuas diri merasa paling baik dan enak, harus terus belajar.
“Masio mlakuku petetoran ngeneiki aku jik kuat ngepit tekan Njanti…” katanya. Meski jalanya sudah sempoyongan dia masih kuat dan sering sepedahan pancal sampat daerah Njanti.
“Njanti mbah?” tanya saya. Saya heran sesepuh itu dia masih kuat mengendarai sepeda pancal sampai lebih 5 km.
“Ojo cupet nalarmu, Njanti iku warung kopine dudu warung ayune…” kata mbah Dul sedikit protes. Dia mengatakan jangan terburu menilai jelek, dia datang ke Njanti ke warung kopinya bukan warung ayunya. Maaf di pasar Njanti lebih dikenal perempuan nakal.
“Tujuanku belajar enek perkembangan opo babagan kopi, aku belajar opo sing marakne kopi nek warung liayane rame lan dadi jujugane uwong… dadi ora rumangso paling apik dewe… ben gak ketinggalan jaman.” Jelasnya. Tujuannya belajar kalau ada perkembangan terutama tentang per-kopian, mengapa ada warung yang rame apa sebabnya, apa yang membuanya jadi tujuan oaring, jadi tidak merasa puas diri dengan apa yang sudah dicapai.
Warungnya juga menjadi saksi bisu tentang perkembangan remaja dari masa ke masa. Banyak anak SMA yang dulu nongkrong di warungnya menadi pejabat atau orang sukses.
“Yen riyoyo aku sering dikirimi sarung, jajan soko bocah-bocah sing biyen gawene menyang warungku..” ceritanya. Ketika lebaran sering mendapat kiiman sarung, atau hadiah dari anak-anak yang dulu sering ke warungnya.
Paling nakal adalah masa sekitar tahun 90-an, jaman segitu anak-anak sering kebut-kebutan. Sering di razia polisi sampai di warungnya karena motor diprotoli. Anak yang sering ngopi di warungnya dijamin tak kenal narkoba atai minman keras, ceritanya. Yang suka minum-minuman mereka yang mangkalnya di sekitar terminal katanya.
“Awakmu SMA tahun piro?” tanyanya. Saya jadi tertawa karena saya SMA tahun 90-an. Menurutnya tahun segitu cari banyak anak yang makan jajan 6 bilangnya 2, habis 10 bila 4, kenangnya sambil tersenyum. Dia juga menceritakan anak-anak tahun 90-an tersebut banyak yang mengunjunginya dan meminta maaf kalau dulu pernah menyusahkan dengan ketidak jujurannya. Setiap periode menurutnya pasti diwarnai dengan hal-hal nyleneh.
Warung Mbah Dul adalah warung enom, artinya pengunjungnya anak-anak muda sedari dulu. Sehingga warungnya difasilitasi apa yang menjadi kebutuhan anak muda. Musim bola atau motor gp sering dijadikan nonton bareng. Bahkan sekarang menjadi markasnya Anchor, fans-nya Arema di Ponorogo. Setiap Arema tampil warungnya selalu penuh oleh Aremania dengan berbagai atribut bahkan membawa bas dram selayakanya menonton langsung di stadion. Ide dan kreatifitas mbah Dul Khodir sekarang dijiplak oleh cafe-cafe sekarang ini, bagaimana memanjakan pelanggan.
Begitulah cerita seorang mbah Dul Khodir dalam mencintai kopi, menjaga kopi, serta hidup dari mengandalkan kopi. Itu cara mbah Dul Khodir bagaimana menjadi saksi dari perkembangan remaja dari masa ke masa. Suka duka telah dia lalui, tentang kopi yang telah menghidupi dia dan keluarganya. Banyak cerita yang terlewatkan, banyak cerita yang bikin semangat untuk hidup tak boleh menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H