Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Cumbri, Bukit Pemisah Dua Provinsi

11 Januari 2017   21:30 Diperbarui: 12 Januari 2017   23:18 1968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gagal mengejar sunrise, tergantikan kabut yang mirip ombak yang menenggelamkan bukit karang

Jangan menyerah, itu kata-kata yang sering kali kami ucapkan untuk memotivasi orang lain untuk terus bertahan dan melanjutkan kehidupannya (am_pm). Suatu saat kata yang dilontarkan pada orang lain akan dialami sendiri. Seperti kemarin waktu menapaki jalan setapak ke puncak Cumbri. Napas ngos-ngosan, maklum ini kali pertama saya naik gunung. Jangan menyerah, kata-kata itu selalu terngiang dan saya harus bisa mencapai.

Berawal dari ajakan teman Beku, ajakan mendadak lewat telepon pukul 2 malam.

“Mas, jam 3 kita berangkat ke Cumbri, ikut Ndak?” ajak Shandy lewat telepon, padahal waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Gila sedari sore mata saya belum terpejam sepulang dari perjalanan jauh luar kota.

“Iya, saya ikut...,” jawab saya. Tak berani tidur takut terlelap, menyiapkan baterai kamera dan tripod jaket dan motor. Segera saya menuju SPBU untuk memastikan BBM saya mencukupi. Di SPBU tersebut kami janjian ketemu. Tak lama kemudian 2 mobil mendekati saya yang sedang menunggu di pinggir jalan.

“Maaf, Mas, jadinya kita bawa mobil, motornya dititipkan saja,” kata Shandy dari dalam mobil. Tapi ndak mungkin pukul 3 pagi ada penitipan, akhirnya saya tetap mengendarai motor dan yang lainnya tetap naik mobil.

Saya mengikuti dua mobil. Saya belum tahu alamat atau jalan yang kami tuju. Jalan gelap semakin lama semakin mengecil melewati persawahan dan kampung. Jalan semakin lama semakin menanjak dan perlu ektra hati-hati untuk berkendara. Selain gelap, jalanan penuh jurang di kanan-kiri.

Sekitar sejam kemudian kami sampai di pos Pager Ukir. Kami tunaikan sholat subuh di mushola sebelah pos. Di pos tersebut pula kami menitipkan kendaraan. Ada 4 orang yang sedang tidur di pos yang mirip poskamling tersebut. Kami tidak tega membangunkannya. Setelah mengunci kendaraan, kami bergegas.

Segera kami berjalan ke arah kiri mushola karena saya sudah tidak tahu arah mata angin. 200-an meter dari pos kami sampai pada tugu setinggi ketiak, tugu batas antara kabupaten Ponorogo dengan kabupaten Wonogiri, tugu batas antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah.

Setelah melewati tugu batas tersebut, jalan mengecil hanya bisa dilewati satu bulan orang. Menurut Shandy ini jalan para petani jambu mente lewat ke lahan perhutani yang ditanaminya. Kata Shandy pula ini satu-satunya jalan yang paling mudah dan singkat untuk sampai di puncak Cumbri. Beda dengan dua jalur lainnya yang bukan jalan para petani jambu mente. Jalan ini lebih terawat, mungkin karena saban hari sering dibuat lalu lalang petani.

Jalanan semakin gelap dan terjal. Saya bingung karena tidak sempat membawa senter buat penerangan. Hanya ponsel yang bisa saya andalkan. Seharusnya satu orang satu penerangan karena berjalan harus depan belakang, tidak bisa berjajar. Jalan mulai menanjak, beruntung jalan sudah ditata sedemikian rupa oleh orang-orang yang saban hari melewati lokasi ini. Tanaman jambu mente rimbun di sebelah kanan, sedang sebelah kiri bibir jurang, dan jauh di sana kerlap-kerlip penerangan rumah dan jalan-jalan di Kabupaten Ponorogo. Mirip bintang-bintang yang sedang main petak umpet.

Harusnya makin tinggi makin dingin, tapi tidak kali ini, keringat bercucuran dan napas semakin ngos-ngosan. Jangan menyerah, satu-satunya penyemangat sambil berhenti minum air mineral yang saya selipkan pada tas kamera. Satu-satunya air mineral yang saya bawa, sisa perjalanan sebelumnya.

Kelompok kami terbagi 4 kelompok, berdasarkan stamina. Yang staminanya bagus akan terus melaju agar segera sampai puncak. Semakin ke belakang semakin berkurang tenaganya. Tak tahu berapa ratus meter jalan yang sudah tertempuh, hanya saja kata orang-orang ketinggian bukit Cumbri ini 638 model.

Tanaman jambu mente sudah tidak nampak lagi, tinggal dinding batu di kanan kami dan kurang dari lembah raksasa yang menampakkan bintang-bintang gemerlapan dari lampu penerangan dari nun jauh. Terpaan angin mulai terasa, tak ada lagi tanaman atau pepohonan yang menghalangi sehingga dingin mulai terasa.

Kami harus semakin waspada karena jalan mirip tangga. Tangga kecil-kecil yang licin, terpeleset sedikit masuk jurang yang dalamnya ratusan meter. Setelah melewati batu besar akhirnya sampai juga, suasana masih gelap hanya kerlap-kerlip lampu nun jauh di sana yang mirip bintang-bintang. Yang tadinya hanya di kiri sekarang berada di kanan-kiri. Menurut Shandy, daerah yang nampak di depan dan di kiri tersebut adalah wilayah Kabupaten Ponorogo, sedang yang berada di samping kanan adalah dan belakang adalah wilyah Kabupaten Wonogiri.

gagal mengejar sunrise, tergantikan kabut yang mirip ombak yang menenggelamkan bukit karang
gagal mengejar sunrise, tergantikan kabut yang mirip ombak yang menenggelamkan bukit karang
Ada kesempatan buat kami untuk mengeluarkan dan menata kamera. Semburat merah yang kami harapkan belum juga muncul. Mendung tipis sedang menyelimuti langit di kejauhan. Sepertinya harapan kami mengejar matahari terbit harus diulang lagi di lain waktu. Tapi kami tidak menyerah. Sering kali matahari dan semburat merah yang kami tunggu tiba-tiba muncul begitu cepatnya, 1-5 menit sehingga kamera selalu terpasang pada tripod mengarah ke daerah langit yang lebih terang.

Hari semakin terang, semburat merah dari sunrise yang kami tunggu tak juga datang. Mendung tipis pun perlahan datang, menyelimuti gunung-gunung kecil dan lembah yang ada di bawah bukit Cumbri. Makin lama kabut tersebut menutupi penuh gunung-gunung kecil tersebut, mirip-mirip ombak di samudera yang menenggelamkan bebatuan karang atau pulau-pulau kecil.

gunung, perbukitan dan lembah yang terihat dari bukit Cumbri
gunung, perbukitan dan lembah yang terihat dari bukit Cumbri
batu besar di bukit Cumbri sebelah bawah bisa menjadi fourground
batu besar di bukit Cumbri sebelah bawah bisa menjadi fourground
Luar biasa, mungkin ini pengganti sunrise, kabut halimun tersebut mirip lautan yang ombaknya mengitari tempat kami berdiri. Rasa kecewa kami terobati dengan pemandangan ini. Semakin siang, kabut tersebut semakin menyebar dan akhirnya hilang. Bersamaan dengan itu, bukit Cumbri semakin ramai dengan datangnya pengunjung yang akan menikmati pemandangan dari atas Gunung Cumbri.

Puncak bukit Cumbri ini terbagi dua gundukan, yang satu berupa batu besar dari batu ini bisa dinikmati pemandangan view Ponorogo. Sedangkan yang lebih tinggi bisa menikmati view Ponorogo dan Wonogiri. Namun, posisi bukit Cumbri lebih menghadap ke arah Ponorogo, atau ke arah timur. Alasan itulah bukit Cumbri lebih cocok untuk mengejar sunrise dari arah Ponorogo.

Puaskanlah selfie, memotret landscape, menunggu sunrise, menikmati lembah yang berkelok, menikmati gunung-gunung kecil di bawah Cumbri yang mirip batu pada samudera, menikmati kabut yang mirip ombak di lautan.

narsis di bukit Cumbri, Pict Daniel
narsis di bukit Cumbri, Pict Daniel
matahari yang enggan keluar, pict Daniel Beku
matahari yang enggan keluar, pict Daniel Beku
Sempat terjadi perdebatan dari netizen di dunia sosial media pada tahun 2015-an, awal-awal bukit Cumbri dikenal di sosial media. Tentang siapa yang berhak atas Cumbri, dari sisi view milik Ponorogo, dari sisi geografis wilayah ikut Wonogiri. Dari sisi akses jalan jalur pendakian dari Ponorogo lebih enak, pendek, dan lebih cepat. Kendaraan bisa mencapai titik terdekat. Mungkin mirip gunung Kelud, Gunung Lawu, Gunung Bromo yang sempat menjadi polemik.

Saya sempat bertanya pada Pak Sarno warga Pager Ukir (Ponorogo) ketika sudah turun waktu mengambil kendaraan tentang polemik di media sosial ini.

“Oalah mas Cumbri niku gadahane Indonesia, sanes gadahane wong Sampung nggih sanes gadahane tiyang Purwantoro,” jawab Pak Sarno, Cumbri itu milik Indonesia bukan milik orang Ponorogo atau Wonogiri.

“Tugas kulo naming mbantu tiyang bade dating Cubri ben penak, ben lancar, ben aman, lan ben slamet, ora peduli soko Wonogiri opo Ponorogo,” terang Pak Sarno, tugasnya memberi kemudahan pada pengujung Cumbri agar enak, lancar, aman, selamat tidak peduli meraka berasal dari Ponorogo atau Wonogiri.

Dari pos Pager Ukir ini tidak ada retribusi atau karcis masuk, hanya parkir motor 2 ribu dan mobil 5 ribu. Dan bila menginap menjadi dua kali lipatnya. Ongkos parkir sekaligus penitipan yang sangat murah. Motor dijaga 24 jam oleh pemuda Pager Ukir bergantian.

pak sarno dan pemuda Pager Ukir (pokdarwis)
pak sarno dan pemuda Pager Ukir (pokdarwis)
Menurut Pak Sarno, dari uang parkir ini bisa untuk membangun mushola di dekat pos dan pos yang permanen untuk menyediakan informasi tentang pendakian. Saban hari ada 25-an kendaraan yang dititipkan. Dan pada hari Minggu bisa menjapai 50-75 kendaraan yang dititipkan. Rekor pada tahun baru mencapai 150-an kendaraan, jelas Pak Sarno.

Masyarakat sekitar pos bisa berjualan makanan dan minuman di sekitar pos, imbas semakin ramainya Cumbri membawa berkah pada masyarakat sekitar. Gayung bersambut, pemerintah Kabupaten Ponorogo dan Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo memberikan fasilitas dengan memperbaiki infrasturuktur pengerasan jalan dengan cor semen serta pelatihan kader sadar wisata bagi masyarakat Pager Ukir. Bagaimana mengelola, menjaga, mengurus sampah sampai memberi peringatan kepada setiap pengunjung untuk membawa turun setiap sampah bekas makanan atau minuman yang dikonsumsi.

Semakin hari semakin ramai, siap tidak siap Pak Sarno dan warga Pager Ukir harus menyiapkan diri. Dia tidak peduli dengan polemik tentang siapa yang berhak atas Gunung Cumbri. Tugas dia adalah menerima tamu yang ke desanya atau melewati desanya. Bisa membantu orang, bisa mempermudah orang lain mereka yakin Allah akan mempermudah urusannya pula. Mereka sadar bahwa desanya adalah salah satu jalur pendakian termudah dan terdekat untuk mencapai puncak sehingga ke depannya desanya akan menjadi ramai dan menjadi jalur perlintasan paling dicari dan dilewati orang.

Untuk mencapai Desa Pager Ukir ini, pengunjung dari Wonogiri bisa melewati Badegan ambil jalan ke kiri setelah pasar di situ sudah banyak papan petunjuk arah yang dibikin oleh Dinas Pariwisata Ponorogo. Sedangkan dari arah Ponorogo (timur) lewat Kapuran belok kanan kea rah desa Glinggang, ambil arah desa Kunti langsung ikuti papan petunjuk. Selain Cumbri, di Desa Pager Ukir ada situs arkeolog Watu Dukun dan Beji (sumber air) di jalur menuju bukit Cumbri.

Selamat datang di Gunung Cumbri Indonesia, seperti kata Pak Sarno.

*) PmLapUAm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun