Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Orangtua Paling Rajin Mengantar Sekolah

18 Juli 2016   11:30 Diperbarui: 18 Juli 2016   21:34 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hari pertama sekolah "][/caption]

Entah ini kali ke berapa motor matic Lastri gembos saat anak perempuannya berangkat sekolah. Tanpa banyak tanya aku menepi ketika melihat Lastri dan Anak perempuannya di tepi jalan tak jauh dari rumahnya. Tangannya melambai berusaha mencari tumpangan.

"Motorku gembos, tunggu sebentar saya taruh dulu di teras..." kata Lastri, belum sempat aku menjawab langsung dituntunnya motor yang gembos masuk halamannya lagi.
Sementara Anak perempuan Lastri langsung naik di boncengan belakang. Anak lelakiku berada di depan, tak lama kemudian Lastri juga langsung naik. Untung pompa ban motorku selalu lebih keras dari seharusnya.

"Lupa selama Lebaran ndak dipakai... eeee..e tahu-tahu mau dipakai gembos..." Lastri nerocos tanpa aku sempat menjawab.

Beruntung sampai sekolah tidak terlambat, anakku langsung turun dan berlari berebut salaman dengan gurunya setelah bersalaman denganku. Beda dengan anak Lastri yang harus diantar sampai depan kelas.
Kulirik di papan pengumuman yang digantung di gerbang dikerumuni para orang tua, dalam papan kayu bertulisan kapur tersebut diumumkan anak-anak dipulangkan jam 8. Menurut satpam setelah upacara dilanjutkan bersalaman langsung pulang, karena ini hari pertama masuk sekolah apalagi pasca lebaran.

"Waduh pulangnya jam 8 ternyata, tanggung kalau di tinggal pulang, motor gembos lagi...." kata Lastri, aku ndak menjawab. Tapi aku harus tanggung jawab tadi aku yang membonceng pergi dan aku musti bertanggungjawab memboncengnya pulang.

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk Lastri pun langsung naik dalam boncenganku lagi. Motorku ku arahkan ke depot penjual soto di selatan bekas terminal.

"Istrimu ndak pulang mas?" Tanyanya. Aku cuma menggeleng.
"Mas Dedy juga ndak pulang, telephone ngucapin lebaran saja endak..." katanya lagi.
Aku hanya mengangguk sambil makan soto yang sudah dihidangkan. Lastri terus curhat sambil makan soto, sambil memandanginya sesekali mengangguk.
"Ayo sudah hampir jam 8.. " kataku sambil merogoh saku mengambil dompet, tapi Lastri lebih gesit dia lebih cepat berdiri untuk ke kasir membayar soto yang kami makan. Kami segera meluncur ke sekolahan dan anak-anak sudah menunggu di gerbang sekolah. Mereka langsung naik dengan posisi seperti waktu berangkat.

Sesampai di depan rumah Lastri lampu sen kanan kunyalakam, biar kendaraan dari depan atau belakang memberi kesempatan motorku menyeberang ke arah kanan.
"Matur suwun ya... jangan kapok direpoti terus..." katanya sambil membuka kunci pagar. Aku mengangguk sambil memaksa bibirku tersenyum untuk mengimbangi.

Anak perempuan Lastri kelas satu naik kelas dua ini. Sedangkan anak lelakiku kelas dua naik ke kelas tiga. Rumahku dan Lastri berjauhan, dia tinggal di kelurahan Kauman sedangkan rumahku bertaut 15 km, berada di pedesaaan. Meski begitu setiap mengantar sekolah, aku hampir selalu melewati jalan depan rumah Lastri karena jalan satu satunya menuju kota.

Suami Lastri bekerja di pelayaran, menurut ceritanya hampir 2 tahun ini belum pulang. Sudah 5 bulan terakhir ini tidak pernah telepon atau memberi kabar.
Sementara istriku pergi ke rumah orang tuanya di Banten setelah pertengkaran 2 tahun lalu.

Anak lelakiku dan anak perempuan Lastri satu sekolahan, terpaut satu kelas. Di sekolah kami rata-rata tidak saling mengenal, hanya saling tahu kalau mereka orang tua dari anak-anak di sekolah yang sama. Begitu juga dengan Lastri sebelum-sebelumnya.

Kali pertama bareng sekolah waktu motornya gembos di dekat sekolahan. Mencari tukang tambal ban tidak ada dan akhirnya motor dititip kan di sekolah. Diambil keesokan harinya setelah satpam mengundang tukang tambal ban.

Sejak saat itu aku hampir selalu menoleh ke arah rumah Lastri ketika melewati. Hanya sekedar tersenyum dan menglakson. Lastri hampir selalu ada di teras, seperti nya dia hapal kapan aku lewat atau kapan aku balik. Ada semangat baru untuk mengantar sekolah sejak saat itu.

Usia Lastri mungkin 10 tahunan dariku. Dia perempuan sederhana, baik cara berpakaian ataupun bermake-up. Bukan cantik, kalau boleh kubilang Lastri ayu.. mirip istriku yang sudah lama pulang ke Banten ke rumah orang tuanya. Istriku yang tak sepaham menganggap pekerjaanku sebagai tukang foto tak bisa diandalkan. Istriku yang lebih menurut sama orang tuanya daripada suaminya.

Pernah suatu kali menjelang puasa kemarin Lastri ikut aku mengantar hasil jepretan di daerah wisata Sarangan, saat itu motor Lastri juga gembos dia menumpang mengantar anaknya sekolah. Aku bilang aku ngantar pesanan dulu ke Sarangan, dia tidak keberatan malah tersenyum girang.

Kulirik vila dan hotel melati di sepanjang jalan ke telaga, berkali aku menelan ludah. Mungkin pikiranku dan pikirannya sama, ingin istirahat sejenak di dalamnya barang sejenak. Tangan Lastri berkali-kali meremasi sapu tangannya. Dia memasukkan tangannya dalam saku jaketnya, dengan alasan biar tangannya tidak kepanasan oleh matahari. Aku pun tidak keberatan.

Pikiran berkecamuk antar ingin belok dan tetap jalan. Dadaku bergemuruh antara keinginan, nafsu, kerinduan, dan kebutuhan dalam perjalanan yang nyaris tanpa bicara. Mungkin orang-orang Jogjakarta mengistilahkan 'topo mbisu', namun meski bisu dada kami berseru.

Akhirnya aku menyerah dan kuhentikan motor di rumah makan di sebuah hotel di Sarangan. Ada senyuman Lastri yang tidak seperti biasanya, entahlah aku berkeinginan makan dulu untuk basa-basi sambil meredakan gejolak (=jangan baca buat strategi).

Pagi itu Lastri terlihat ayu.., bibir tipisnya berkali kali diusap dengan lidahnya. Berkali-kali air ludahnya dipaksa membasahi nya. Nafasku bertambah sesak melihat karenanya.

Baru saja makanan disajikan, telepon Lastri berdering.
"Ada apa mak?" Jawab Lastri, kiranya emaknya menelepon. Dia terus ngomong sama emaknya, dan aku terus makan.
"Ada apa?" Tanyaku sambil makan ketika dia selesai bertelepon.

"Emak cerita Pak bayan di kampung emak diarak warga karena tertangkap menginap di rumah janda, pak bayan dipecat dan didenda beli batu 10 truk untuk perbaikan jalan kampung..." kata Lastri sedih.

Memang hukuman buat orang berselingkuh di kampung disuruh memperbaiki jalan atau saluran. Beli bahan seperti batu atau pasir.
Pikiranku sebelum makan langsung lenyap, deru nafsu langsung amblas, sesak di dada langsung sirna.

Aku segera membayar makanan dan segera mengantar foto-foto pesanan, dan segera kembali ke sekolah karena jam 12 segera berlalu.
Lastri mendekapku dari belakang sepanjang perjalanan. Tanpa kata tanpa bicara sampai sekolah dan teras rumahnya.

Untung pagi ini anak-anak kami jam 8 sudah pulang, sehingga kejadian pak bayan bisa kami hindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun