Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Orangtua Paling Rajin Mengantar Sekolah

18 Juli 2016   11:30 Diperbarui: 18 Juli 2016   21:34 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak lelakiku dan anak perempuan Lastri satu sekolahan, terpaut satu kelas. Di sekolah kami rata-rata tidak saling mengenal, hanya saling tahu kalau mereka orang tua dari anak-anak di sekolah yang sama. Begitu juga dengan Lastri sebelum-sebelumnya.

Kali pertama bareng sekolah waktu motornya gembos di dekat sekolahan. Mencari tukang tambal ban tidak ada dan akhirnya motor dititip kan di sekolah. Diambil keesokan harinya setelah satpam mengundang tukang tambal ban.

Sejak saat itu aku hampir selalu menoleh ke arah rumah Lastri ketika melewati. Hanya sekedar tersenyum dan menglakson. Lastri hampir selalu ada di teras, seperti nya dia hapal kapan aku lewat atau kapan aku balik. Ada semangat baru untuk mengantar sekolah sejak saat itu.

Usia Lastri mungkin 10 tahunan dariku. Dia perempuan sederhana, baik cara berpakaian ataupun bermake-up. Bukan cantik, kalau boleh kubilang Lastri ayu.. mirip istriku yang sudah lama pulang ke Banten ke rumah orang tuanya. Istriku yang tak sepaham menganggap pekerjaanku sebagai tukang foto tak bisa diandalkan. Istriku yang lebih menurut sama orang tuanya daripada suaminya.

Pernah suatu kali menjelang puasa kemarin Lastri ikut aku mengantar hasil jepretan di daerah wisata Sarangan, saat itu motor Lastri juga gembos dia menumpang mengantar anaknya sekolah. Aku bilang aku ngantar pesanan dulu ke Sarangan, dia tidak keberatan malah tersenyum girang.

Kulirik vila dan hotel melati di sepanjang jalan ke telaga, berkali aku menelan ludah. Mungkin pikiranku dan pikirannya sama, ingin istirahat sejenak di dalamnya barang sejenak. Tangan Lastri berkali-kali meremasi sapu tangannya. Dia memasukkan tangannya dalam saku jaketnya, dengan alasan biar tangannya tidak kepanasan oleh matahari. Aku pun tidak keberatan.

Pikiran berkecamuk antar ingin belok dan tetap jalan. Dadaku bergemuruh antara keinginan, nafsu, kerinduan, dan kebutuhan dalam perjalanan yang nyaris tanpa bicara. Mungkin orang-orang Jogjakarta mengistilahkan 'topo mbisu', namun meski bisu dada kami berseru.

Akhirnya aku menyerah dan kuhentikan motor di rumah makan di sebuah hotel di Sarangan. Ada senyuman Lastri yang tidak seperti biasanya, entahlah aku berkeinginan makan dulu untuk basa-basi sambil meredakan gejolak (=jangan baca buat strategi).

Pagi itu Lastri terlihat ayu.., bibir tipisnya berkali kali diusap dengan lidahnya. Berkali-kali air ludahnya dipaksa membasahi nya. Nafasku bertambah sesak melihat karenanya.

Baru saja makanan disajikan, telepon Lastri berdering.
"Ada apa mak?" Jawab Lastri, kiranya emaknya menelepon. Dia terus ngomong sama emaknya, dan aku terus makan.
"Ada apa?" Tanyaku sambil makan ketika dia selesai bertelepon.

"Emak cerita Pak bayan di kampung emak diarak warga karena tertangkap menginap di rumah janda, pak bayan dipecat dan didenda beli batu 10 truk untuk perbaikan jalan kampung..." kata Lastri sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun