Ini adalah kali ke dua kunjungan saya ke pabrik Atsiri Tawangmangu Karangayar. Kali pertama sekitar tahun 1985-an dengan bapak saya. Kala itu menengok saudara yang rumahnya dekat pabrik. Pabrik sereh, bapak mengatakan waktu itu karena pabrik tersebut banyak mengolah sereh untuk dijadikan bahan sabun, cerita bapakku
Di desa-desa digalakkan menanam sereh, tanaman sereh tersebut ditanam di pagar-pagar atau batas lahan. Masih terngiang dalam ingatan mbah lurah Mo’in (lurah kami) mewajibkan menanam sereh di pinggir jalan, berjarak 1,5 meter. Setiap warga wajib memelihara tanaman tersebut, dan pabrih sereh akan datang membeli sereh tersebut. Hasil penjualan menjadi hak warga. Yang ditahu warga, sereh akan diolah menjadi bahan sabun kala itu. Sehingga pabrik atsiri lebih terkenal dengan sebutan pabrik sereh. Tapi bapak tidak memperbolehkan melihat terlalu dekat, sebagai PNS bapak kala itu menjelaskan pegawai negeri tidak boleh masuk pabrik. Entahlah apa maksud bapak….
Bagaimana kondisi pabrik Atsiri (sereh) sekarang??
Senjakala tak pandang bulu pabrik atsiri-pun terkena imbasnya. Senjakala, istilah ini kali pertama saya dengar dari Gusdur (Presiden ke-4) ketika menghadiri acara di pondok pesantren Ngruwak Nganjuk.
“Senjakala di depan mata, bagi siapa saja yang tidak kuat bertahan dengan lajunya jaman, entah, BUMN, Kementrian, perusahaan, atau pabrik-pabrik.” pidato Gusdur kala itu. Tak pelak waktu itu Kementrian Penerangan, BKKBN, beberapa BUMN, PT Pos, Telkom, Pabrik Gula, PTPN, perusahaan yang masih bekerja dengan pola lama menjadi kurban senjakala. Entahlah mengapa Gusdur sudah berpikir sejauh itu.
Begitu pula nasib pabrik atsiri yang saya kunjungi bersama teman-teman Kompasiana Yogyakarta. Sudah tidak ada aktifitas pabrik, sudah tidak ada aktifitas bongkar muat bahan yang akan disuling, dan tidak ada aktifitas penyulingan seperti tahun 1985-an. Di mana cerobong asap mengepulkan asap putih kehitaman dari mesin ketel, banyak pekerja dari luar daerah yang setiap ganti shif jaga nongkrong di warung sekitar pabrik, dan tak ada lagi truk-truk pembawa bahan yang akan disuling keluar masuk area pabrik.
Pak Maryanto menjelaskan, aktifitas pabrik terus mengalami penurunan semenjak Citronella (badan usaha milik Negara) menjualnya ke PT Intan Purnama Jati sekitar tahun 1990. Jumlah macam yang disuling semakin terbatas begitu juga pasokan bahan baku jugat tersendat-sendat, 2 hari buka 4 hari tutup, dan terus begitu, cerita pak Maryanto yang hingga sekarang tetap bekerja di lokasi tersebut.
“Tinggal kayu putih, akar wangi, cengkeh, nilam dan sereh yang diolah menjelang tutupnya pabrik ini” jelas Maryanto yang sudah bekerja sejak tahun 1985 ini.
“Aktifitas pabrik benar-benar terhenti ketika PT Intan Purnama Jati menjualnya lagi ke pemilik sekarang….” Cerita bu Painah, istri pak Maryanto yang dulu juga bekerja di pabrik ini.
“Tapi untung mas pemilik sekarang akan bikin museum, museum atsiri ditempat ini lagi..” kata bu Paenah sambil mempersilakan menyantap pohong goreng yang barusan digorengnya. Pabrik atsiri ini sekarang dimiliki oleh PT. Rumah Atsiri Indonesia. Pemilk terakhir inilah yang ingin menjadikan lahan bekas pabrik astiri menjadi museum.
“Tujuan kami mendirikan museum adalah agar generasi sekarang bisa ikut menikmati kejayaan masa lampau, bisa belajar tentang atsiri, dan kami berharap museum ini menjadi pusat pembejaran tentang hal-hal mengenai atsiri.” Kata mbak Yulia yang mengundang kami para Kompasianer.
Mbak Yulia adalah anak dari pemilik lahan bekas pabrik atsiri ini. Sudah dikumpulkannya berkas-berkas lama, benda-benda bersejarah, mendatangi nara sumber yang berhubungan dengan pabrik atsiri. Mbak Yulia menceritakan bulan lalu bersama Prof. Edy Cahyono dari UNNES Semarang mengunjungi Prof. Harjono di Semarang. Beliau adalah ahlinya atsiri, cerita mbak Yulia.
Pesan beliau agar minyak atsiri tetap eksis di masyarakat, dan pengetahuan tentang atsiri diketahui masyarakat banyak, ceritanya. Prof. Harjono juga tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika akan didirikan museum atsiri di Tawangmangu, cerita mbak Yulia kepada Kompasiener Yogyakarta.
Sambil berkeliling kami ditunjukin ruangan-ruangan, petak-petak, saluran-saluran, serta benda-benda yang tersisa.
Menurut cerita pak Maryanto pembangunan pabrik ini dimulai sekitar tahun 1963, menginjak tahun 1965 pembangunan dilanjutkan PNPR Leppin Karya Yasa. Kala itu banyak pekerja dari Bulgaria, begitu juga arsiteknya juga dari Bulgaria. Model bangunannya mirip gedung-gedung yang ada di Jakarta terutama yang ada di sekitar Senayan, ujar rekan pak Maryanto yang memandu kami berkeliling. Pengaruh politik Ir. Soekarno kala itu yang condong ke blok timur. Sehingga negara seperti Bulgaria, China menjadi top center. Pabrik ini dibangun dengan sistem produk sharing dengan negara Bulgaria, berbagi hasil. Konon Pabrik minyak atsiri ini dulu merupakan pabrik atsiri terbesar di Asia Tenggara.
“Ir. Soekarno membuat proyek-proyek mercusuar kala itu, salah satunya pabrik atsiri ini.” Kata mbak Yulia. Menurutnya lagi Ir. Soekarno hampir selalu membuat proyek kembar, ada atsiri Tawangmangu dibangun pula atsiri yang di luar Jawa, yaitu atsiri Pita Kumala yang berada di Aceh. Di Jawa dibikin pabrik semen Gresik, di luar Jawa dibangun semen Padang, di Jawa dibangun pabrik kertas Leces di luar jawapun dibangun pabrik kertas dan seterusnya. Menurut mbak Yulia pembangunan tersebut merupakan bentuk pemerataan pembangunan.
Pada awal-awal tahun 1966 pembangunan terhenti dan masih 80% karena peristiwa meletusnya G30S/ PKI, para pekerja Bulgaria pergi menyelamatkan diri karena Bulgaria dicap negara komunis. Selanjutnya pada pertengah tahun pembangunan diteruskan oleh Komando Proyek Citronella menjelang pergantian pucuk pimpinan pemerintahan. Mungkin alasan inilah bapakku di tahun 1985 takut mendekat pabrik astiri, karena dianggap berpaham kiri.
Kurun waktu pembangunan pabrik astiri ini sama dengan pembangunan gedung-gedung vital yang ada di Jakarta seperti DPR-MPR, stadion, Monas, Gedung Pola, hal ini sering dikait-kaitkan dengan proyek mercusuar presiden Ir. Soekarno. Menurut pak Maryanto pabrik astiri ini jenis pondasi serta struktur beton penyangganya mirip bangunan-bangunan tersebut.
Penyangga sosro bahu sudah ada waktu itu, dan kini menjadi trend model penyangga. Hal inilah menurut pak Maryanto arsitek yang membidani pabrik astiri luar biasa di jamannya.
Model ventilasi juga mirip dengan gedung MPR-DPR, saluran-saluran air dan pengaturan letak bangunan sudah demikian rupa sehingga terkesan memudahkan mobilisasi para pekerja.
Mungkin karena letaknya yang berada di lereng gunung Lawu dan jauh dari hiruk pikuk politik mungkin tidak tercatat dalam dokumentasi arsitektur, atau mungkin bangunan ini berbau masalah paham kiri sehingga dianggap tidak penting, tutur mbak Yulia. Museum ini kelak juga diharapkan menjadi pusat study tentang arsitek dan tata bangun, jaman tahun 1963 sudah terpikirkan model begitu dan masih kokoh sampai saat ini. Bangunan-bangunan yang lain sangat mengundang peneliti untuk mendalami konsep arsitekturenya, gaya Bung Karno banget ujar mbak Yulia.
“Pak Karno yang pengin dimakamkan di lereng gunung Lawu ndak kesampaian, malah pak Harto yang dikubur di lereng gunung Lawu ini” Kata teman pak Maryanto.
Pak Maryanto menerangkan tanaman yang disuling pabrik ini merupakan bahan baku industri bumbu, parfum, bahan pewangi, aroma, farmasi, kosmetika dan juga aromaterapi. Yang terakhir pihak Indofood juga pernah mengambil atsiri dari pabrik yang berada di Tawangmangu ini.
Laboratorium ini selalu dikunci doble kata pak Maryanto, para pekerja yang merehap gedung dibohongi kalau ruangan laboratorium ini angker. Memang posisinya di lantai bawah dan terkesan lembab dekat toilet waktu itu. Tujuan berbohong agar koleksi yang tersisa di laboratorium tidak dijamah oleh tangan-tangan yang tidak bertangung jawab, cerita pak Maryanto sambil terkekeh.
Lokasi museum ini tepat di lereng sebelah barat gunung Lawu, dan berada di jalur utama menuju tempat wisata Grojogan Sewu, candi Sukuh, jalur pendakian gunung Lawu, telaga Sarangan serta jalur pintas Jawa Timur - Jawa Tengah (Karanganyar-Magetan) yang jalurnya sudah landai dan mulus. Udaranya yang dingin membuat tempat sekitar museum ini menjadi primadona liburan. Tanaman hijau subur tumbuh di sana sini terhampar di lereng gunung, mungkin ini yang menjadi alasan presiden Ir. Soekarno membangun pabrik atsiri di Tawangmangu, untuk lebih dekat dengan bahan baku.
Pembangunan fasilitas juga akan terus dikebut agar pengujung tak hanya berekreasi tapi juga belajar, kata mbak Yulia.
Mbak Yulia sebagai pemilik PT. Rumah Atsiri Indonesia berharap museum ini segera kelar dan bisa dinikmati masyarakat banyak, menjadi tujuan wisata pendidikan, menjadi rujukan ilmu di bidangnya, dan bermanfaat bagi perkembangan pendidikan khususnya mengenai atsiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H