"Kalah karo ndangdutan om.... makane bocah enom saiki gak kenal terbangan..." kata mbak Fera. Adanya penabuh rebana berusia muda adalah kebanggaan lainnya, karena ada regenerasi.
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Menurut Pak de
Manroelo seni terbangan ini berasal dari desa Srandil Jambon (Ponorogo barat). Terbangan Ki Muno Biyat namanya, menurutnya sudah ada atau berdiri semenjak ada pemuda Srandil yang menjadi santri di Tegalsar. Sepulang menyantri pemuda itu meieruskan tradisi sholawatan di desanya. Mungkin sekitar tahun 1850, paparnya.Â
Menurutnya lagi banyak group terbangan di Ponorogo, hanya saja kurang terdata menyebar dimana saja. Menjelang puasa, Maulid nabi, atau hari besar keagamaan seni tersebut digelar. Namun sekepnya hanya lingkungan.
Tak heran kalau Ponorogo disebut bumi sholawat, kota santri. Karena tradisi pesantren masih bisa dinikmati hingga sekarang, katanya lagi.
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
"Seneng mas bisa menghibur dan ikut nguri uri budaya asli Ponorogo" kata Pakde
Manroelo (foto berpeci koran bekas). Dia berharap ini bisa menjadi agenda rutin dan tontonan gratis bagi masyarakat sekitarnya, sembari ngopi di warungnya tentunya. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan budaya adi luhung ini, harapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya