Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Terbangan, Menyambut Malam Nisyfu Sa'ban di Ponorogo

21 Mei 2016   09:12 Diperbarui: 21 Mei 2016   11:18 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seni terbangan, sholawatan yang diiringi rebana ukuran jumbo. Dokpri

"Kalah karo ndangdutan om.... makane bocah enom saiki gak kenal terbangan..." kata mbak Fera. Adanya penabuh rebana berusia muda adalah kebanggaan lainnya, karena ada regenerasi.

Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Menurut Pak de Manroelo seni terbangan ini berasal dari desa Srandil Jambon (Ponorogo barat). Terbangan Ki Muno Biyat namanya, menurutnya sudah ada atau berdiri semenjak ada pemuda Srandil yang menjadi santri di Tegalsar. Sepulang menyantri pemuda itu meieruskan tradisi sholawatan di desanya. Mungkin sekitar tahun 1850, paparnya. 

Menurutnya lagi banyak group terbangan di Ponorogo, hanya saja kurang terdata menyebar dimana saja. Menjelang puasa, Maulid nabi, atau hari besar keagamaan seni tersebut digelar. Namun sekepnya hanya lingkungan.

Tak heran kalau Ponorogo disebut bumi sholawat, kota santri. Karena tradisi pesantren masih bisa dinikmati hingga sekarang, katanya lagi.

Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
"Seneng mas bisa menghibur dan ikut nguri uri budaya asli Ponorogo" kata Pakde Manroelo (foto berpeci koran bekas). Dia berharap ini bisa menjadi agenda rutin dan tontonan gratis bagi masyarakat sekitarnya, sembari ngopi di warungnya tentunya. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan budaya adi luhung ini, harapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun