Perkenalan dan pertemuan dengan Fahmi hanya sebentar. Di Bandara Kalimaru ketika memasuki pesawat sampai duduk bersebelahan di dalam pesawat Garuda yang kami tumpangi menuju bandara Sepinggan Balikpapan. Pertemuan singkat namun mampu sesakkan dada. Usianya masih 17-an tahun namun wawasan dan cara berpikirnya seperti anak kulihan. Dia sedang bersekolah di Banjarmasin, sekolah yang relatif jauh untuk anak seusia dia. Sedangkan ayah-bundanya tinggal di Berahu sebagai karyawan pemerintah. Dia menjadi santri di pondok modern yang ada di Banjarmasin. Setelah 6 bulan mondok dia berkesempatan libur dan pulang mengunjungi keluarganya. Kali ini dia harus segera kembali ke Banjarmasin karena keesokan harinya sudah harus berada di pondok pesantren sesuai jadual pembelajarannya.
"Dari mana mas? ada acara apa datang ke Berau?" tanyanya mirip wartawan.
"Kami mengikuti Datsun Risers Expedition dan Kompasiana Blog Trip, kami beruntung terpilih dari ratusan bahkan ribuan orang yang mendaftar...." jawab saya panjang.
"Sempat ke Derawan? sempat ke Kakaban mas?" tanyanya. Saya hanya mengangguk untuk memberi kesempatan dia lebih banyak ngomong.
"Liat foto-foto saya Derawan dan Kakaban, bandingkan dengan yang mas lihat kemarin...." katanya sambil menunjukan foto-foto di androidnya. Saya semakin penasaran sebenarnya apa yang akan disampaikan pada saya. Foto Derawan masih sedikit kotek-kotek dan dermaga. Sedang foto Kakaban masih hijau dan banyak ikan berseliweran, begitu juga masih ada foto ikan terbang, ikan yang berkejaran di atas permukaan air.
"Fahmi seneng hoby motret juga?" tanya saya sambil mengagumi foto-fotonya di androidnnya.
"Dulu mas, sekarang ndak bisa lagi hp harus dititipkan kalau di pondok, apalagi dslr..." katanya lirih.
"Perbedaannya jauh kan mas? itu foto kuambil setahunan yang lalu sebelum saya masuk pondok." katanya lagi, dan saya mengangguu-angguk.
"Pariwisata di Kalimantan beda sama di Jawa, kalau di Kalimantan semakin lama tempat wisatanya semakin rusak sedang di Jawa begitu dijadikan tujuan wisata tempat tersebut langsung dijaga...." jelasnya.
"Kan ada dinas pariwisata yang tugasnya ngurus gituan?" jawab saya.
"Iya sih, kalau di Jawa dinas pariwisata menjaga tempat wisata, kalau disini? Kebalikannya mas dia mengepoitasi habis-habisan..." jawabnya lugas, namun membuat saya semakin bingung.
"Tempat wisata di Jawa makin lama makin terjaga, kalau di sini tempat wisata makin lama makin rusak mas, itu maksud saya..." jelasnya lagi dengan nada agak keras.
"Lebih baik tidak dijadikan tujuan wisata daripada rusak, biarkan saja biar alami...." katanya dengan nada yang merendah.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/30/img-8768-56ac331c8e7e61b6060441ee.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/30/img-8775-56ac2f0737937359051226ed.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
"Itu 6 bulan yang lalu ketika saya berangkat ke pondok masih hijau, liat sekarang sudah coklat dan banyak kubangan." katanya lagi.
Fahmi juga menceritakan dibelakang rumah temannya di Samarinda, belakang rumahnya ada telaga raksasa bekas tambang yang ditinggal begitu saja setelah pekerjaan tambang selesai. Katanya danau bekas aktifitas tambang tersebut airnya 2 tahun baru habis kalau disedot. Bayangkan luas danau dan dalamnya danau. Katanya lagi tak ada upaya untuk pengurukan atau reklamasi, begitu aktifitas tambang selesai langsung ditinggal.
"Kalau mas sempat memperhatikan perjalanan darat memakai Datsun kemarin, banyak hutan di sepanjang jalan, namun begitu masuk 100-200 meter ke dalam hutan itu sudah berupa kubangan-kubangan raksasa, hutan pinggir jalan itu hanya penutup kenakalan aktifitas tambang...." jelasnya lagi.
Kalimantan terkenal dengan sebutan pulau seribu sungai, tapi luar biasa sulitnya mencari air bersih. Sungai-sungai yang dulu jernih berubah menjadi coklat, dari coklat berubah menjadi hijau. Hijaunya bukan jernih tapi polusi air sudah diatas ambang batas, katanya.
Tak ada kesejukan lagi di Kalimantan meski dulu terkenal tempatnya pepohonan besar tumbuh, sekarang mencari kayu besar saja sulitnya setengah mati, katanya. Kayu diambil, tanahnya dikeruk, batu barannya diambil, bekasnya masih ditanami kelapa sawit. Kata Fahmi kelapa sawit ini yang menyedot air tanah, katanya tanaman jenis ini boros air tanah.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/30/img-8773-56ac31d15eafbd2b0507cb3f.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/30/img-8873-56ac33743793733f051226e5.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Yang tersisa hanya kubangan-kubangan raksasa, danau-danau raksasa yang ikan saja ndak bisa hidup apalagi manusia. Bumi Kalimantan benar-benar dititik yang mengkuwatirkan, katanya.
Ekploitasi yang ugal-ugalan selama ini tanpa diimbangi dengan penghijauan kembali.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/30/img-8904-56ac3350a723bd7f0967b96c.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Luar biasa cerita singkatnya Fahmi. Anak muda yang asli Kalimantan yang gelisah dengan kondisi alam Kalimantan yang semakin rusak.
"Selamatkan Alam Kalimantan, Selamatkan Indonesia Dari Kehancuran"
"Terima kasih Fahmi....."Â
*) salam Njalan-njalan
*) salam Njepret
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI