Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tangisku Di Derawan (5)

20 Januari 2016   00:35 Diperbarui: 20 Januari 2016   00:47 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai keruh yang dilalui sped boot rombongan Datsun Risers Expedition dan Kompasiana Blog Trip terus melaju, sepanjang sungai yang terlihat hanyalah aktifitas tambang. Kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara hilir mudik menuju tengah lautan. Hutan-hutan ditepi sungai yang sudah beralih fungsi menyisakan kubangan-kubangan dan mirip longsoran. Hutan-hutan bakau tak lagi sempat tumbuh akibat aktifitas sungai yang kiat padat. Itulah penampakan aliran sungai yang kami lewati mulai dari pelabuhan di Berahu.

Rasa sedih, kecewa, hingga meratap atas pengelolaan lingkungan yang serasa kurang bijak.

Semakin jauh sungai-pun terlewati, air keruh perlahan berubah menjadi kebiruan. Hantaman ombak dan riak-riak yang semakin besar membuat kapal terhuncang. Kapalpun berkali-kali melompat-lompat seperti kuda yang menghindari kubangan. Bukannya mengurangi kecepatan si pengemudi malah tertawa sambil terus menekan semakin keras pedal gas speed boot.

"Glodak..... glodaaaaak...." suara kapal memecah derasnya ombak yang semakin jauh meninggalakan tepian.

Hampir 4 jam perjalanan sekepal pulau nampak dikejauhan, semakin mendekat semakin membesar. Berbarengan terlihatnya pulau yang semakin membesar karena semakin dekat ketakjuban kami seakan tersentak. Air lautan semakin jernih, nampak sampai dasar, terlihat ikan-ikan berlarian, terlihat biota lautan yang menggeliat karena gerakan kapal yang semakin melambat.

Kami menangis haru, masih ada laut biru laut yang serasa perawan, laut yang masih bisa disaksikan ikan-ikan menari berkejaran. Luar biasa.... nikmat mana lagi yang mereka dustai......

Luar biasa.....

Anak buah kapal segera melempar sauh dan meloncat ke dermaga kayu, sementara pengemudi kapal terus berusaha merapatkan kapalnya ke tepian. Kami kegirangan berloncatan ke arah dermaga. Segera anak buah buah kapal membongkar muatan.

"Ayo cepat.... ayo cepat turun..... " suara teman-teman serasa tak sabar untuk berebut keluar dari kapal.

Pulau kecil yang sangat indah, ditumbuhi pohon kelapa dan pepohonan khas pantai. Pasir putih yang bersih, air laut yang jernih hingga dasar. Tampak pula rumah-rumah apung diatas pantai berjajar memanjang di setiap Dermaga. Sayapun segera berlarian tak mempedulikan barang bawaan. Terus jeprat-jepret menghalau kekaguman.

"Barang bawaannya di bawa sendiri-sendiri..... jangan ada yang ketinggalan...." kata salah satu pemimpin rombongan mengingatkan untuk segera berkemas menuju daratan.

Sangatlah beruntung kami diberi kesempatan untuk menikmati kehindahan alam pulau Derawan, pulau ciptaan Tuhan yang sudah mulai diusik oleh tangan-tangan jahil manusia.

Luar biasa kami dijadikan saksi tentang keagungan Tuhan yang entah sampai kapan bisa bertahan.

Kesempatan tak disia-siakan para risers untuk mengabadikan. Setelah makan siang para risers digiring ke pantai Gosong, pantai yang berpasir putih bersih yang menjorok ke lautan, sebentar terlihat dan sebentar terndam air lautan. Pasir dan bebatuan yang terhampar memanjang yang sebesar lapangan bola, yang meski terendam tapi tak lebih dari sebatas lutut orang dewasa.

Pantai yang sangat cocok untuk pre weding atau berbulan madu. Pantai yang akan selalu menghasilkan poto yang luar biasa dari sudut bidik manapun. Benar-benar kami dimanjakan, dan dibuat enggan beranjak.

"Hati-hati ubur-ubur disini menyengat dan beracun, pakai alas kaki dan jangan terlalu ke tengah..." teriak pemandu ketika salah satu dari kami nekat berendam agak ke tengah.

"Air datang... air datang sebentar lagi tempat ini terendam, segara menuju ke tepian..." kata pemandu, dan kamipun menuju ke tepian menjauh dari air yang semakin merendam tempat kami berdiri.

Di Pulau Derawan ini mudah sekali didapatkan ikan-ikan berenang, bintang laut-bintang laut menari menggeliat karena kepanasan, kura-kura timbul tenggelam dibawa ombak. Banyak belut laut berkejaran, ular-ular laut simpang siur keluar masuk bebatuan.

Biota laut lainya bergoyang-gotyang diterjang gelombang, ikan-ikan cupang berlarian menghindari serangan. Sungguh pemandangan yang luar biasa yang sulit kami dapatkan di tempat lain.

Ada yang mengganjal di hati kami tatkala mendengar cerita penduduk asli pulau Derawan ini, mereka penduduk yang telah puluhan tahun tinggal di tempat ini. Penduduk yang saban hari telah berubah profesi dari nelayang menjadi pedagang musiman, nelayan yang kini berubah menjadi pelayan, nelayan yang sekarang berprofesi menjual jajanan.

Mereka menceritakan banyak orang luar pemilik kotek (pemilik resot, pemilik home stay) berlomba mebuat bangunan, berlomba membuat dermaga. Pulau ini sekarang mirip matahari yang memnacarkan sinar berupa dermaga-dermaga kayu yang menjang ke lautan tanpa ada pembatasan.

Tiap kotek mempunyai satu dermaga, bisa dibayangkan bagaimana jadinya pulau ini kedepan.

Cerita warga yang tinggal di tengah pulau ini seakan semakin terkurung oleh kotek-kotek dan dermaga yang seakan milik pribadi. Seperti halnya ketika saya berlarian mengejar tenggelamnya matahari untu saya poto, dan saya sengaja melewati dermaga yang berada agak jauh dari dermaga yang pertama kami lauli ketika bersandar.

"Mas mohon maaf... mas ndak nginap di kotek ini makan mas jangan melewati dermaga ini... mas sudah disediakan dermaga masing-masing...." kata petugas yang menjaga dermaga yang akan saya lewati.

Akhirnya saya kembali berputar arah menuju dermaga yang dimiliki oleh kotek tempat menginap.

Pembangunan kotek dan dermaga di Derawan ini terus berlangsung, saban hari para pekerja hilir mudik di tepian membuat tiang-tiang pancang dari kayu. Mereka diperkerjakan oleh investor yang akan membuat tempat penginapan baru.

Sedih rasanya, semakin hari semakin ramai namun keindahan dan keaslian pulau Derawan terus diusik. Sedih dan tak terasa peluh kami berceceran, sampai kapan pulau Derawan ini mampu bertahan.

 

"Derawan, Sampai Kapan Kuat Bertahan"

 

*) salam njepret
*) salam trutusan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun