Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Alas Donoloyo Terjaga oleh Perhutani dan Legenda

31 Desember 2015   22:34 Diperbarui: 1 Januari 2016   00:29 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wonogiri, 31 Desember 2015

Ada hutan jati di daerah Slogohimo Wonogiri yang masih terjaga, terjaga baik kelestariannya maupun kesakralan-nya. Untuk mendapatkan atau menyaksikan pohon jati raksasa yang berusia ratusan tahun tersebut kita tidak usah jauh-jauh atau bersusah-susah masuk hutan belantara yang sulit medannya. Alas Donoloyo yang berada di wilayah timur kabupaten Wonogiri ini masih menyimpan pohon-pohon jati yang besarnya (diameter) mencapai 3 kali pelukan orang dewasa.

Legenda setempat menganggap Alas Donoloyo ini adalah tempat yang sakral, tidak seorangpun warga yang berani mengotak-atik apalagi merusak tumbuhan jati raksasa di komplek ini. Tidak ada warga sekitar yang berani berbuat tidak senonoh ketika berada di hutan ini atau ketika melintas hutan ini. Berbagai cerita kejadian menimpa mereka yang berbuat tidak senonoh ataupun merusak kawasan ini.

Pihak perhutanipun sebagai pihak penanggung jawab kelestarian hutan merasa diuntungkan, karena budaya dan legenda setempat begitu menyakralkan tempat ini, otomatis beban Perhutani dalam melindungi hutan dari pencurian minim. Ranting-ranting kering yang berjatuah saja tidak ada yang berani mengambil apalagi menggangu pohonnya, kata pak Wardi salah satu warga yang kemarin saya ketemui di Kuncen.

Pak wardi menceritakan, dulu para wali pernah mengambil salah satu pohon jati disini yang sedianya dibuat soko guru untuk masjid Demak Bintoro, kayu tersebut dipilih dan ditebang dan dihanyutkan melalui jalur bengawan Solo, sesampai di Demak kayu tersebut dianggap cacat oleh salah satu utusan keraton, dianggap cacat karena ada lubang. Dalam seketika kayu jati tersebut kembali ke tempat alas Donoloyo ini tempatnya tumbuh, cerita pak Wardi.

Masih menurut pak Wardi kayu tersebut sekarang masih ada wujudnya berada di hutan sisi barat, oleh orang sini disebut Jati Mbegot, Jati Njegot, terkenal pula dengan sebutan Jati Brontak. Banyak orang yang menganggap kayu tersebut mustajab buat penyembuhan ataupun senjata.

Mbegot dalam bahasa Indonesia bearati diam karena kecewa, begitu juga Njegot diam tanpa bicara, tanpa bergerak namun menyimpan amarah. Brontak artinya memberontak. Ini semacam simbol perlawanan orang kecil terhadap pejabat pemerintahan.

Selain pepohonan jati ditempat ini bisa ketemukan 3 buah rumah, yang gambar atas adalah punden tempatnya orang bertirakat, banyak orang yang punya hajad dan berziarah ditempat ini. Para peziarah datang dari berbagai kota, terbanyak dari keluarga keraton baik Jogja atau keraton yang di Solo. Orang sini-pun menganggap menjaga tempat ini sama halnya berbakti kepada keraton. Karena menurut cerita pak Wardi tempat ini tidak bisa dipisahkan dari legenda keraton, tempat ini dulunya pernah dipakai untuk rapat para wali songo, pernah dipakai rapat para raja Mataram ketika akan membangun keraton. 

Hubungan tempat ini dengan keraton sering kali masyarakat sini secara batin masih terjaga, seperti halnya seminggu sebelum Sri Paku Alam wafat terjadi gempa yang berasal dari barat daya dari lokasi ini. Menurut pak Wardi gempa tersebut berasal dari daerah Bantul dan sekitarnya, dan 7 hari kemudian beliau wafat. Begitu juga ketika terjadi letusan gunung Merapi, orang sekitar Donoloyo ini juga mendapat petunjuk akan terjadinya bencana.

Rumah yang berwarna hijau itu milip Perhutani, selain sebagai tempat pertemuan juga difungsikan untuk para peziarah untuk istirahat ataupun berteduh.

Dibelakang rumah hiujau ini ada rumuah kecil yang mirip dapur dari kayu bakar, disitu disedikan peralatan masak dan membuat minuman. Kata Pak Wardi disediakan buat mereka yang bermukim disini, buat mereka yang tirakat dan mau memasak atau membikin kopi.

Diutara dekat sungai nampak ada tenda, menurut pak Wardi tenda itu sudah hampir setahun, dia sedang bertirakat dan bermukim ditempat ini seorang diri. Dia ceritanya orang Jogja dia datang sendirian dan hidup sendirian ditempat ini.

Malam Jumat tempat ini ramai para peziarah, mereka datang berombongan memakai mobil atau bus. Setelah selesai ziarah mereka langsung pulang. Sementara yang memakai sepeda motor atau berjalan kaki biasanya menginap. Di tempat ini gratis tidak dipungut biaya meski ada juru kunci. Juru kunci mendapat uang dari para peziarah yang suka rela memmberi uang.

Sekitar 2 tahun terakhir ceritanya orang umum (bukan peziarah) sudah berani datang kemari untuk rekreasi. Dulunya merupakan pantangan tempat ini unuk bersenang-senang. Sampai sekarangpun tidak ada satupun pedagang yang berdagang di area ini. Bila menginginkan jajan atau makan harus keluar dari area Alas Donoloyo ini.

Ada kabar gembira kalau Alas Donoloyo ini akan dikembangkan sebagai tempat wisata. Menurut pak Wardi malam Jumat kemarin diadakan tirakatan dengan menyembelih sapi jantan besar. Selain tirakatan juga diadakan musyawarah dari warga sekitar, juru kunci, pihak Perhutani serta pejabat pemda Wonogiri. Kesepakatan rapat antara lain tempat ini akan diberi pagar besi mulai batas masuk utara sampai selatan, para pengunjung akan dikenai retribusi.

Tempat yang teduh ini juga bisa digunakan sebagai bumi perkemahan, tempat ini bisa dijadikan sebagai tempat penelitian, tempat ini sebagai tempat kajiaan baik secara lahiriyah maupun spiritual. Dengan syarat tidak boleh merusak dan wajib menjaga hutan dan menjaga kesopanan di tempat ini.

Pernah sebulan yang lalu warga dari luar berbacaran dan sampai melakukan 'begituan', oleh warga digrebeg dan digelandang ke kantor polisi. Masyarakat menganggap mereka menodai tempat ini. Mereka adalah orang yang tak tahu sejarah atau legenda tempat ini.

Di tempat ini bersih, sulit didapatkan sampah plastik atau kertas. Orang takut membuang sampah, berbicara macam-macampun takut.

Sekilas keseraman tempat ini sudah mulai pudah dengan hadirnyanya banyak pengunjung, banyak anak-anak muda bermotor berombongan yang sudah mulai datang untuk sekedar berekreasi. Banyak keluarga yang berekrasi di tempat ini. Namun untuk membuat hiburan seperti wahana wisata atau semacam panggung musik belaum berani, tak berani ambil resiko katanya.

Kondisi pohon-pohon jati tersebut sudah mulai mengenaskan, ada yang keropos, ada yang tumbang, ada yang sol (miring) karena akarnya tak kuat lagi. Meski sempat tumbang tidak ada yang berani menggunakan kayu tersebut.  Mungkin peremajaan kayu jati perlu dipikirkan. Kayu-kayu besar tersebut lambat laun akan menyerah pada usia, bila rata-rata seusia sebelum usia masjdi Demak, bisa dihitung umur kayu-kayu besar ini. Peremajaan selang seling tanpa merusak tatanan pepohonan tentunya.

Begitu juga masyarakat sudah mulai punya keberanian mendatangi tempat seperti ini, jaman terus bergulir manusia semakin tidak punya rasa takut. Malah manusia yang menakutkan.

Bila semua hutan mempunyai cerita seperti Alas Donoloyo ini pastilah hutan kita aman dari penjarah, tak ada lagi kabut asap yang bikin susah warga, yang ditidak bikin protes negera tetangga.

"Alas Donoloyo, Terjaga Oleh Perhutani dan Legenda"

*) Salam kampret
*) Salam Koteka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun