Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ayam Panggang Waris Dibanjiri Pengunjung Liburan Akhir Tahun

30 Desember 2015   14:33 Diperbarui: 30 Desember 2015   15:25 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratusan tempat makan yang menjajakan kuliner sepajang jalan mulai perbatasan Ponorogo-Wonogiri sampai perjalanan perbatasan Wonogiri-Sukoharjo. Masakanannya khas berbahan ayam atau kambing, kalau bukan nasi tiwul ya nasi beras. Ini yang menjadi ciri khas kuliner Wonogiri meski masih banyak lagi kuliner seperti ikan bakar di sekitaran waduk Gajah Mungkur.

Kali ini saya akan menceritakan ayam panggang yang berada di barat pasar Purwantoro, orang Ponorogo menyebutnya ayam panggang Miri Cinde. Saya mengenal rumah makan ini di awal tahun 2000-an, ketika itu masih berupa warung kecil  dan sederhana dari papan kayu dan masih berlantai tanah. Dari cerita dari orang Ponorogo yang berjualan (bakul)  di pasar Dangkrang (Purwantoro), katanya ada bothok dan ayam panggang murang di barat pasar Ndangkrang. Dari cerita itulah dulu saya mencari warung tersebut, penjualnya perempuan tua sekitar 65-an tahun, saya lebih akrab menyebut mbah Bothok, karena yang paling khas kala itu bothok jerohan ayam dan bothok terinya. Seringkali waktu itu saya dibonusi bothok-an tersebut ketika pulang. Bothok itu mirip pepes yang dibungkus daun pisang lalu dikukus.

Dulu jaman mbah Bothok dalam sehari menghabiskan 8-10 ekor ayam, kala itu setiap ayam panggang utuh dihargai 20-an ribu, saya dibonusi sayur urap, lalap petai, dan bothok jerohan ayam.

Sepeninggal mbah Bothok usaha warung ini dilanjutkan mbak Parti,  kala itu mbak Parti masih muda sering membantu mbah Bothok beres-beres warung sambil berjualan mebel dari kayu jati yang ditaruh dirumah belakang. Nama warungnya pun diganti 'Rumah Makan Ayam Panggang Waris', nama Waris diambil karena ini merupakan warisan dari mbah Bothok.

Sambil menekuni mebel mbak Parti meneruskan warung makan ayam panggang tersebut, waktu itu warung dimundurkan agar bisa untuk parkir kendaraan, dulu posisinya ditanjakan dan tikungan sehingga untuk belok ke tempat ini perlu ektra hati-hati karena jalanan ramai dijalur provinsi. Dan dibangunnya juga toilet di timur warung, dulu tahun 2000-an untuk mencari toilet di perjalanan di daerah Wonogiri sangatlah susah terutama sulitnya air bersih. Sambil makan numpang ke toilet lama-lama ketagihan.

Oleh mbak Parti selain bothok dan ayam panggang ditambahi menu sayur lodeh khas Purwantoro, dan minumannya ditambah teh poci ini yang menjadi daya tarik tersendiri dibanding warung ayam panggan yang sudah eksis duluan di sepanjang jalan perjalanan ke Wonogiri dari arah Ponorogo.

Pengunjung semakin ramai akhirnya mbak Parti mengurbankan rumahnya yang depan (serambi), rumahnya dimundurkan lagi dibikin lesehan dan rumah utama yang dulu untuk menaruh mebel dijadikan tempat makan pula. Sementara lahan disebelah timur yang dulu masih berupa ladang dijadikan dapur memanjang sampai belakang.

Menurut mbak Parti awalnya pembeli hanya orang sekitarnya dan orang-orang pasar, sekarang lebih banyak orang kantoran atau berombongan keluarga dari berbagai asal. Orang Ponorogo, orang Pacitan, orang Madiun, orang Magetan, dan orang-orang yang melakukan perjalanan dan melewati rumah makannya.

Kini dalam sehari mbak Parti menhabiskan lebih 200 ekor ayam untuk dipangang, dan 50-an ekor untuk digoreng. Rumah makannya buka mulai jam 7 pagi sampai jam 9 malam. Menjelang liburan akhir tahun begini kata mbak Parti berapapun ayam yang disembelih bisa habis dalam sehari.

"Kari nari boyok-e mas...." jawabnya ketika saya tanya habis ayam berapa per hari, dia menjawab tergantung pinggangnya masih kuat atau tidak, karena berapapun ayam yang disembelih bisa habis dalam hari itu juga.

Mbak Parti dibantu pekerja dari tetangga kanan-kirinya, jumlah pekerja hampir 20-an orang. yang muda-muda mengurus depan dan yang tua-tua kebagian memasak dibelakang.

untuk satu porsi ayam lengkap dengan sayur dan nasi beserta minuman dihargai 25-an ribu. satu potong ayam dibagi menjadi 4 bagian, jadi satu porsi makan terdiri dari 1/4 ekor ayam panggang, sayur lodeh, sambal, minum teh poci panas gula batu atau minum es dingin dan nasi yang ditaruh dalam wakul (ceting). Untuk lebih murahnya beli seekor yam untuk 5-6 ayam. Seekor ayam dihargai 50-80 tergantung besar kecilnya ayam.

Cara memasaknya juga masih tradisional memakai kayu bakar dan tungku, ayam dipanggang ditaruh di atas kuali tanah yang berjajar-jajar. Rasanya ayamnya tidak terlalu manis seperti tempat tempat lain disepanjang arah ke Wonogiri, masaknnya mirip masakan khas Ponorogo yang gurih dan pedas, mungkin tempat ini lebih dekat dijangkai dari arah Ponorogo ketimbang dari Wonogiri. Selain itu dekatnya Purwantoro dan Ponorogo membuat budaya serta makanan juga mirip.

Sayur lodeh gude, sayur ini merupakan pavorit saya di rumah makan ini, namun sayang pengaruh musim sehingga tak tersedianya sayur ini kemarin. Gude itu mirip kacang kapri atau plolong, kulitnya lembut seperti sutera. Enak dimasak isinya yang mirip kacang tolo, enak juga dimasak keita masih kepek (masih muda kaya kacang koro).

Tempe lanas lombok ijo, arti lanas itu mirip hampir bosok, tempe hampir bosok rasanya khas dibumbu santan kental kaya gambar diatas. Rasanya gurih,manis dan pedas. ini juga luar biasa. tempenya lunak karena sudah hampir bosok, sehingga terasa lumer di mulut.

Sayur Terong glathik, ini sayur terong kecil-kecil dimasak dengan ebi atau ikan teri di santan kental. namun sering juga terong glatik dibuat lalapan dengan sambal bawang. Rasanya luar biasa pula

Urap, ini sayuran yang dikukus dan dibumbui dengan kelapa muda, dijamin ketagiahn.

Bothok, parutan kelapa yang dibumbu dikasih ikan jerohan ayam atau teri ataupun ikan sungai dikukus dibungkus dengan daun pisang, ini cikal bakal sehingga si empunya lebih dikenal dengan nama mbah Bothok.

Jangan sia-siakan perjalanan anda ketika melewati jalur Ponorogo-Wonogiri, tempat ini bisa menampung keluarga besar, tak lama mengantri karena masaknya cepat dan begitupula penyajiannya. Bisa untuk tempat bersantai dengan teman kantor.

Tak hanya sekedar mampir ke toiletnya seperti awal-awal saya lewat sini ketika awal buka, wakakakakakakak. Dijamin tidak kecewa sambil ke toilet kita makan.

 

*) salam madiyang
*) salam koteka
*) salam kampret
*) salam beku
*) salam beku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun