“Jampersal? Tulis saja nanti pasti saya baca….” Janji sang presiden sambil terus menatap saya.
Sayapun menaruh kedua telapak tangan di depan dada, memberi salam hormad dan saya mundur agar para kompasianer yang lain bisa mendekat sang presiden.
Lalu saya buka lipatan kertas yang tadinya saya siapkan bila mendapatkan giliran berbicara di depan panggung.
Tulisan tersebut seperti di bawah ini;
Selamat siang bapak presiden,
Saya Nanang Diyanto berasal dari Ponorogo, saya seorang perawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang saat ini sedang giat-giatnya penilaian Akeditasi yang ujungnya ‘Pacient Sepcty' tentang 'Keselamatan pasien' mungkin kalau di perusahaan mirip ISO.
Kebetulan saban hari bekerja di bagian kamar operasi kebidanan dan kandungan, angka kematian ibu bersalan dan bayi baru lahir masih tinggi. Di mana saban hari melihat susahnya rakyat kecil menghadapi pembiayaan dalam persalinan. Yang ujungnya pada kematian ibu dan bayinya.
Dahulu jaman awal presiden SBY pernah ada program JAMPERSAL dimana semua ibu bersalin dan bayinya tercover oleh program tersebut, dengan syarat mau ditempatkan di perawatan kelas 3.
Penempatan di kelas 3 ini otomatis bisa menyaring mana yang berhak dan mana yang tidak berhak, orang kita sering gengsi bila ditaruh di kelas 3, namun tak jarang pula orang kaya yang nekat mau ditempatkan di kelas 3.
Menjelang berahirnya tugas presiden SBY program Jampersal ini di hapus dan digabung dengan BPJS, bagi yang tadinya mempunyai kartu Jamkesmas otomatis masuk BPJS. Sedangkan yang tidak punya harus membayar secara mandiri. Dan hal inilah pelayanan persalinan yang tadinya ditanggung Negara menjadi mundur kembali, yang akibatnya faktor pembiayaan yang menjadi kendala.
Untuk itu mohon keberadaan JAMPERSAL ditinjau kembali, atau terserah apapun namanya asal semua ibu bersalin bisa tercover. Kami yakin bila faktor biaya bisa atasi angka kematian ibu bersalin dan bayi baru lahir bisa ditekan.