"Tayuban, cah eneom-enom pengin nguripne jaran kepange lan wong-wong tuwo kangen tayube, aku nggur iso ngijini asal do ra gegeran lan do omben neng kalangan....." jawabnya, para pemuda berkeinginan menghidupakan kesenian jaran kepan dan para orang tua rindu tayuban, akhirnya mereka sepakat bekolaborasi dan kepala desa memberi ijin asal tidak membuat keributan dan pesta minuman keras.
"Mangkane akeh ibu-ibu sing nonton, mergo aman lan ora gledisan, malah sing lanang njogel karo tledek sing wedok nonton karo gligisan...." imbuhnya, banyak perempuan yang menonton karena aman dan tidak vulgar (mesum), banyak para suami yang menari dengan tledek sementara istrinya menonton sambil tertawa-tawa.
"Moso pak raentuk ngombe arak." tanya saya pada salah satu penonton.
"Yen nek kene ora ono mas, po pengin diusir ko kalangan, tapi yen nek tegalan lor kae enek..." jawabnya, yen di arena tersebut tidak ada yang minum minuman keras, tapi kalau di ladang seberang jalan itu ada sembunyi-sembunyi, sambil menunjuk ke gelapan.
"Yen gak ngono ngobene nek omah, teko kene kari mabuke mas..." celetuk penonton lain, minumnya di rumah dan sampai tempat ini tingal mabuknya. Tapi menurut para pemuda yang menjadi panitia penyelenggara, siapa yang ketahuan mabuk dan bikin keributan akan diseret ke luar dan diusir.
Pagelaran semalam merupakan bukti beberapa kesenian bisa berkolaborasi, para kaum tua dan kaum muda bisa bersatu menggelar acara yang sama dengan citra rasa berbeda, bisa menampilkan tayub tanpa miras meski selama ini miras menjadi salah satu paket kelengkapan kesenian tersebut.
Jaman terus berubah, tentunya kesenian dan budaya terkena dampak dan imbasnya. Mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Siapa yang salah??? Tentunya tak perlu ada yang dipersalahkan dalam hal ini malah bisa menambah kekayaan budaya dan menjadi daya tarik tersendiri, serta salah satu andalan Pesona Indonesia.
Â
"Salam Budaya"
Â