Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tayub Tanpa Miras?

18 Oktober 2015   07:42 Diperbarui: 30 Oktober 2015   18:59 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 18 Oktober 2015

Bagaimana bila seni tayub tanpa ada minuman keras? Tentu ibarat masakan kurang bumbu, selama ini minuman mengandung alkohol tersebut menjadi bumbu utama bisa terselenggaranya tarian kegiatan tersebut. Masih saya ingat ketika jaman SMP sembunyi-sembunyi menonton tayub-an di dusun tetangga, bau minuman alkohol sangat menyengat, dan minuman ditaruh dimana-mana dan setelah selesai sering diakhiri dengan perkelaian. Hal ini lah yang membuat orang tua saya marah dengan menghadiahkan pukulan rotan pada paha saya, dan harus rela tidur di teras karena tidak mendapatkan pintu masuk.

Dahulu seni tayub sudah menjadi budaya di tempat kami, banyak orang yang punya hajat menggelar kesenian tayub, atau para penggila seni ini rela mendatangi ke luar kampung atau luar daerah dengan berombongan menaiki pik up terbuka untuk menyalurkan hoby menari dan mencari hiburan. Entah apa sebabnya sekarang pesta pernikahan dengan menggelar seni tayub sudah jarang dilakukan, mungkin protes dari sebagian warga di tempat kami sehingga mereka tidak berani mengambil resiko. Nyaris perkembangan seni tayup berhenti karena tidak ada regenerasi di daerah kami. 

Dahulu anak-anak dan perempuan tabu untuk menonton pagelaran ini, bila ada perempuan berada ditempat beginian dianggap perempuan nakal. Hanya para perempuan penari saja yang ada di tempat beginian, dan penontonpun berada di kejauhan.

Kebetulan semalam saya mengunjungi rumah orang tua, dan waktu perjalanan pulang mengetahui kerumunan orang di halaman salah satu warga. Dari musik dan tetabuhan mirip dengan kesinian tayub.

"Wonten nopo pak kok rejo sanget?" tanya saya kepada salah satu warga yang hendak masuk ke halaman untuk menonton, saya menanyakan ada kegiatan apa kok ramai.

"Tayuban mas, tledeke 4 saking Kiring lan Purwantoro..." jawabnya. Dia menjawab ada pagelan seni tayub, dan penarinya 4 dari daerah Bekiring dan Purwantoro Wonogiri. 

Rasa penasaran membuat saya untuk ikut mendekat, terlihat banyak ibu-ibu dan anak-anak yang menonton diantara para penonton yang kebanyakan para lelaki.

Dalam hati selalu bertanya, tayuban kok ndak ada arak-nya? Tidak ada bau alkohol yang menyegat, tidak ada gelas atau botol-boto minuman. Penonton perempuan dan anak-anak ini yang menjadi pertanyaan.

Terlihat dari penari perempuan (tledek) menari ditengah halaman yang masih berupa tanah, dipagari dengan tali berkeliling mirip ring tinju, sementara para penabuh gamelan berada di teras, para penonton menonton dari luar pagar tali yang mirip ring tinju tersebut. 

Kebetulan saya bertemu kepala desa-nya, "Iki ono opo pak lik?" tanya saya, saya sudah akrab dengannya karena masih bersaudara.

"Tayuban, cah eneom-enom pengin nguripne jaran kepange lan wong-wong tuwo kangen tayube, aku nggur iso ngijini asal do ra gegeran lan do omben neng kalangan....." jawabnya, para pemuda berkeinginan menghidupakan kesenian jaran kepan dan para orang tua rindu tayuban, akhirnya mereka sepakat bekolaborasi dan kepala desa memberi ijin asal tidak membuat keributan dan pesta minuman keras.

"Mangkane akeh ibu-ibu sing nonton, mergo aman lan ora gledisan, malah sing lanang njogel karo tledek sing wedok nonton karo gligisan...." imbuhnya, banyak perempuan yang menonton karena aman dan tidak vulgar (mesum), banyak para suami yang menari dengan tledek sementara istrinya menonton sambil tertawa-tawa.

Selain tarian tayub, dan jaran kepang, juga ditarikan tarian kethek anoman yang diiringi gamelan dan gending-gending capur sari-nan. Para penabuh gamelan tersebut gabungan dari pemuda dan para orang tua yang pinter main gamelan. Sinden dan tledeknya ( sebutan penari tayub di daerah ini) berasal dari luar daerah, karena tidak ada perempuan yang bisa atau tidak mau menjadi penari tayub.

"Moso pak raentuk ngombe arak." tanya saya pada salah satu penonton.

"Yen nek kene ora ono mas, po pengin diusir ko kalangan, tapi yen nek tegalan lor kae enek..." jawabnya, yen di arena tersebut tidak ada yang minum minuman keras, tapi kalau di ladang seberang jalan itu ada sembunyi-sembunyi, sambil menunjuk ke gelapan.

"Yen gak ngono ngobene nek omah, teko kene kari mabuke mas..." celetuk penonton lain, minumnya di rumah dan sampai tempat ini tingal mabuknya. Tapi menurut para pemuda yang menjadi panitia penyelenggara, siapa yang ketahuan mabuk dan bikin keributan akan diseret ke luar dan diusir.

Pagelaran semalam merupakan bukti beberapa kesenian bisa berkolaborasi, para kaum tua dan kaum muda bisa bersatu menggelar acara yang sama dengan citra rasa berbeda, bisa menampilkan tayub tanpa miras meski selama ini miras menjadi salah satu paket kelengkapan kesenian tersebut.

Jaman terus berubah, tentunya kesenian dan budaya terkena dampak dan imbasnya. Mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Siapa yang salah??? Tentunya tak perlu ada yang dipersalahkan dalam hal ini malah bisa menambah kekayaan budaya dan menjadi daya tarik tersendiri, serta salah satu andalan Pesona Indonesia.

 

"Salam Budaya"

 

*) salam budaya
*) salam kampret
*) salam njepret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun