Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Lampah Ratri dan Larungan, Intropeksi dan Harapan

19 Oktober 2015   10:41 Diperbarui: 19 Oktober 2015   23:26 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wangi bau asap dupa dan kemenyan terasa menyegrak (menyengat) di hidung, lewat jendela kamar yang saya buka separoh di penginapan Griya Larasati terlihat ratusan orang membawa obor berjalan beriringan.

Sayapun segera keluar dari penginapan dan berlarian menuju jalan besar dipinggir telaga Ngebel. Mereka diam dan nyaris tanpa suara hanya gesekan baju ketika berjalan saja yang terdengar, mereka berjalan mengitari telaga dengan telanjang kaki. Obor yang terbuat dari bambu tersebut timbul tengelam berdasarkan tinggi rendahnya orang yang membawanya, semakin menjauh semakin kecil dan terlihart seperti ular panjang yang meliuk-liuk mengikuti alur jalan pinggir telaga, orang desa Ngebel mengatakan seperti 'mamang' yang artinya hantu api atau gonduruwo api. Mamang juga diartikan gamang atau ragu-ragu. 

"Wawang, awang-awang, mamang niku penyakite ati mas, rumiyen mbah-mbahe awake dewe seneng tirakat lampah ratri karo dzikir marang Pengeran lan tansah eling yen mung Pengeran sing dituju, kareben uripe ora mamang, ora awang-awangen, ora was-was, yen kabeh wi pinesthi." kata pak Sarju orang yang disamping saya ketika menonton kemarin, dia mengatakan rasa was-was, kawatir itu penyakit hati dahulu leluhur kita senang tirakat berjalan mengitari telaga sambil berdikzir kepada Alloh, biar hidupnya tidak kawatir, was-was, karena hidup itu punya tujuan.

Lampah ratri ini sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu menurutnya, "Oncor niku artine pepadhang, sing iso paring pepadang nggur pangeran...." katanya lagi, Oncor (obor) itu artinya penerangan, yang bisa memberi penerangan hanya Tuhan. Lampah Ratri diartikan berjalan dengan diam, sepi dimulut tapi ramai di hati, hatinya terus bergemuruh berdzikir kepada Alloh.

Menurut pak Sarju kegiatan ini sudah berlangsung puluhan tahun, seingatnya sedari kecil sudah ada, mungkin sedari nenek buyutnya. Dahulu katanya hanya diikuti oleh penduduk sekitar telaga sini saja, dari penduduk yang mendapatkan pengairan serta manfaat dari telaga, merupakan ucapan syukur dan berterima kasih.

Dahulu penerangan berasal dari getah pinus yang tumbuh subur di sekitar telaga, dan lambat laun memakai oncor yang terbuat dari bambu yang diisi dengan minyak kelapa, dan berlanjut memakai minyak tanah yang harganya lebih murah dan lebih mudah didapatkan.

Semenjak dibatasinya minyak tanah menjadi satu kendala tersendiri, selain sulit didapatkan juga harganya mahal 2 kali harga premium. Untuk hal itulah acara lampah ratri kemarin dilakukan oleh para pemuda dari perguruan pencak silat, dan obor-obor tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Namun begitu tidak mengurangi kekhidmatan acara. Ratusan pemuda ini lebih mudah dikordinir dan dimobilisasi oleh ketua kelompok mereka, dan entah dari mana sponsor minyak tanahnya.

Sekitar jam 12 malam, setelah selesai mengitari telaga yang berjarak kurang lebih 5,5 km mereka menuju dermaga di sisi utara, mereka berjajar membentuk pagar betis, obor-obor mereka tetpa menyala sepanjang jalan menuju dermaga dan disisi pinggiran telaga. Mereka tetap diam, hanya sesepuh desa yang memimpin doa. Setelah selesai berdoa sesepuh desa membawa nampan (baki) diikuti beberapa orang menuju dermaga dan mendekat pada gethek (rakit dari bambu) yang telah disiapkan.

Nampan tersebut berisi kepala kambing kendit (kambing dengan lingkaran putih di bagian perut mirip sabuk) yang sudah disembelih sore harinya, dan darahnya ditaruh dan dibungkus kain putih disertakan, serta ditaburi bunga-bunga.

Nampan tersebut selanjutnya diserahkan kepada orang yang sudah menunggu di dekat rakit, sesepuh desa memimpin doa lagi dan meletakan nampan beserta isinya tersebut ke atas rakit. Orang yang sedari tadi menunggu di dekat rakit inilah yang bertugas mendorong ke tengah telaga sambil berenang, lelaki terpilih ini saban hari bertugas sebagai penjaga telaga, kepiawaian berenang sudah tidak diragukan. Lelaki ini yang kebagian tugas ketika ada orang yang tengelam di telaga. Namun begitu ada sampan yang dari kejauhan bersiap bila saja ada sesuatu yang tidak diinginkan.

Sementara bagian kambing lainya di kubur ditempat-tempat keramat di daerah sekitar telaga oleh para sesepuh desa. Menurut Pak Sarmun salah satu dari mereka, larungan ini berarti krelaan, keiklasan serta kepasarhan kepada Sang Pencipta.

Dilarung sama halnya dilepas, semua beban hidup dan permasalahan dilepas, dipasrahkan kepada Sang Pencipta. Hal ini mungkin salah satu bentuk tawakal. Bentuk dari penjelmaan bila manusia adalah kecil bukan apa-apa, tidak bisa apa-apa tanpa kehendak Yang Maha Kuasa. Segala keberhasilan dan segala kekurangan sudah ada yang mengatur, dan senantiasa berharap pergantian tahun membawa berkah dimana tahun yang akan ditapaki lebih baik dibanding dengan tahun yang barus saja ditinggalkan. Baik tentang upaya hidup maupun secara kerohanian.

Meski dari tahun ke tahun ada gejala perubahan namun dari lampah ratri dan larungan ini penuh mengandung makna hidup tentang kepasrahan, tentang ketidak berdayaan, tentang intropeksi, tentang harapan dan tentang Kuasa Sang Penguasa.

Lampah Ratri dan Larungan juga menjadi daya tarik tersendiri dan bisa dijadikan agenda dalam kepariwisataan di Ponorogo dan menjadi Pesona Indonesia.

 

"Selamat Datang Di Ponorogo, Kota Budaya" 

Sumber photo ;
koleksi pribadi dan poto paling bawah Shandy AA Miraza

 

*) salam budaya
*) salam kampret
*) salam njepret

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun