Wangi bau asap dupa dan kemenyan terasa menyegrak (menyengat) di hidung, lewat jendela kamar yang saya buka separoh di penginapan Griya Larasati terlihat ratusan orang membawa obor berjalan beriringan.
Sayapun segera keluar dari penginapan dan berlarian menuju jalan besar dipinggir telaga Ngebel. Mereka diam dan nyaris tanpa suara hanya gesekan baju ketika berjalan saja yang terdengar, mereka berjalan mengitari telaga dengan telanjang kaki. Obor yang terbuat dari bambu tersebut timbul tengelam berdasarkan tinggi rendahnya orang yang membawanya, semakin menjauh semakin kecil dan terlihart seperti ular panjang yang meliuk-liuk mengikuti alur jalan pinggir telaga, orang desa Ngebel mengatakan seperti 'mamang' yang artinya hantu api atau gonduruwo api. Mamang juga diartikan gamang atau ragu-ragu.Â
"Wawang, awang-awang, mamang niku penyakite ati mas, rumiyen mbah-mbahe awake dewe seneng tirakat lampah ratri karo dzikir marang Pengeran lan tansah eling yen mung Pengeran sing dituju, kareben uripe ora mamang, ora awang-awangen, ora was-was, yen kabeh wi pinesthi." kata pak Sarju orang yang disamping saya ketika menonton kemarin, dia mengatakan rasa was-was, kawatir itu penyakit hati dahulu leluhur kita senang tirakat berjalan mengitari telaga sambil berdikzir kepada Alloh, biar hidupnya tidak kawatir, was-was, karena hidup itu punya tujuan.
Lampah ratri ini sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu menurutnya, "Oncor niku artine pepadhang, sing iso paring pepadang nggur pangeran...." katanya lagi, Oncor (obor) itu artinya penerangan, yang bisa memberi penerangan hanya Tuhan. Lampah Ratri diartikan berjalan dengan diam, sepi dimulut tapi ramai di hati, hatinya terus bergemuruh berdzikir kepada Alloh.
Menurut pak Sarju kegiatan ini sudah berlangsung puluhan tahun, seingatnya sedari kecil sudah ada, mungkin sedari nenek buyutnya. Dahulu katanya hanya diikuti oleh penduduk sekitar telaga sini saja, dari penduduk yang mendapatkan pengairan serta manfaat dari telaga, merupakan ucapan syukur dan berterima kasih.
Semenjak dibatasinya minyak tanah menjadi satu kendala tersendiri, selain sulit didapatkan juga harganya mahal 2 kali harga premium. Untuk hal itulah acara lampah ratri kemarin dilakukan oleh para pemuda dari perguruan pencak silat, dan obor-obor tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Namun begitu tidak mengurangi kekhidmatan acara. Ratusan pemuda ini lebih mudah dikordinir dan dimobilisasi oleh ketua kelompok mereka, dan entah dari mana sponsor minyak tanahnya.
Nampan tersebut berisi kepala kambing kendit (kambing dengan lingkaran putih di bagian perut mirip sabuk) yang sudah disembelih sore harinya, dan darahnya ditaruh dan dibungkus kain putih disertakan, serta ditaburi bunga-bunga.
Nampan tersebut selanjutnya diserahkan kepada orang yang sudah menunggu di dekat rakit, sesepuh desa memimpin doa lagi dan meletakan nampan beserta isinya tersebut ke atas rakit. Orang yang sedari tadi menunggu di dekat rakit inilah yang bertugas mendorong ke tengah telaga sambil berenang, lelaki terpilih ini saban hari bertugas sebagai penjaga telaga, kepiawaian berenang sudah tidak diragukan. Lelaki ini yang kebagian tugas ketika ada orang yang tengelam di telaga. Namun begitu ada sampan yang dari kejauhan bersiap bila saja ada sesuatu yang tidak diinginkan.