Ponorogo, 13 Oktober 2015
Membaca judul di atas pastilah banyak yang bingung dan bertanya-tanya. Bersinergi dalam kamus bahasa Indonesia berarti ;Â melakukan kegiatan atau operasi gabungan: sudah sampai waktunya bangsa Indonesia mulai bekerja dan - secara positif yg menguntungkan seluruh bangsa;
Bagaimana maksudnya? Ada apa yang terjadi pada seni reyog dulu, sekarang, dan yang akan datang?
Sebelumnya secara pribadi saya meminta maaf, bila asumsi ataupun pandangan ini meleset bahkan kurang berkenan terutama bagi insan seni reyog ataupun yang menggelutinya.
Sejak dahulu seni reyog selalu berkembang dan mengikuti jaman. Kesenian lain ataupun keilmuan lain juga tak luput dari proses alamiah tersebut. Sebagai contoh seni reyog dulu semua penari berjenis kelamin laki-laki, berkembang penari jathilnya menjadi perempuan dalam 20-an tahun terakhir dan perubahan serta perkembangan lainnya.
Festival Reyog Nasional XXII (FRN XXI) memasuki hari ke 6, dari tahun ke tahun terus memunculkan kejutan, baik keindahan gerak dan tari, kelincahan dan ketrampilan, kekompakan dan kerjasama dari group-group yang tampil. Semalam yang mendapat giliran tampil kontingen reyog Bantarangin DKI Jakarta, kontingen reyog Paseban PRPI Surabaya, kontingen reyog Lamandau dari Kalimantan Tengah, dan 2 kontingen dari tuan rumah kabupaten Ponorogo.
Menurut pak Gendon Suyatno, group ini merupakan bentukan orang-orang Ponorogo warga yang merantau di Jakarta, warga Jakarta, serta warga yang berasal dari daerah yang lain yang sudah hidup berdampingan. Mereka sudah tinggal di Jakarta puluhan tahun dan sudah menjadi penduduk tetap jakarta. Para pemainnya pun bukan darah (ketuturunan) Ponorogo saja, ada orang Betawi, Tasikmalaya, Banten, bahkan orang luar Jawa yang sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta yang tertarik seni reyog. Menurut pak Gendong Suyatno mereka mendapat suport dari Gubernur DKI Jakarta, setiap tahun DKI Jakarta selalu mengirimkan kontingennya lebih dari 1 group. Seni reyog di DKI Jakarta sudah masuk di sanggar-sanggar tari, mereka bisa menari tarian apa saja yang diajarkan di sanggar. Kesenian reyog di Ponorogo biasanya berupa group yang mewakili seperti sekolahan, desa, komunitas, universitas yang personilnya sering bongkar pasang misalnya mengikuti tahun pembelajaran sekolah, dimana ada peneri yang baru masuk dan penari yang keluar karena sudah menyelesaikan pembelajaran di sekolah tersebut.
Ketika ditanya tariannya jathilnya ada nuansa jaipongnya, dia malah tertawa, "Wakakakakakaka masa to mas.... perasaan saya ya endak."
Â
Penampilan dari kontingen Pasebanb PRPI Surabaya juga menarik. Mereka bersiap ditempatnya masing-masing dari tengah ketika lampu panggung masih mati, begitu lampu menyala mereka langsung bergerak dan menari sampak (rancak dengan tempo cepat) begitu pula gamelannya bertalu-talu dengan tempo cepat. Semua menari  dengan perannya masing-masing seakan memberi penghormatan kepada juri dan penonton. Penari warok mengambil posisi di tengah dan penari lainya menepi di pinggir panggung dan tetap menari dengan tempo pelan.
Penari jathilnya yang selalu saya amati, mereka cantik-cantik, perempuan yang dirias perempuan. Beda dengan kontingen Jakarta perempuan yang dibikin mirip lelaki. Rias wajah penari dari Surabaya ini mirip pemain Remo, model ikat kepala, batik jarik yang dipakai, dan asesoris yang dipakai penari.
Gerakan tariannya sama, cara menggerakan tangan serta posisi kuda-kudanya agak ke bawah (memendek) dengan bukaan kaki lebih lebar mirip dengan tari Remo pada pembukaan kesenian Ludruk, penonton disuguhi tarian sama dengan ciri khas berbeda, dan ini yang membuatnya menarik.
Penampilan dari kontingen Kalimantan Tengah Lamandau juga terkesan begitu, balutan seni budaya lokal terasa baik gerakan tarian maupun kostum yang dipakai. Lagi-lagi hal inilah yang ditunggu penonton, ciri khas daerah tempatnya tumbuh yang menjadikan keasyikan tersendiri.
Penampilan dari kontingen tuan rumah begitu-begitu saja dimulai dari tarian warok, tarian jathilan, tarian klono sewandono, tarian ganongan, dan tarian dadag merak. Rata-rata kontingen satu dengan satunya sama, baik jumlah penari, jumlah dadag merak, maupun waktu. Saya menyimpulkan begitu mungkin hampir setiap pekan melihat penampilan seni tari reyog di berbagai tempat di Ponorogo. Mungkin juga pakem (urutan, cara menari, gerakan) reyog sudah dibakukan di Ponorogo.
Tampilnya kontingen-kontingen dari luar Ponorogo tentunya bisa menjadi acuan sejauh mana reyog berkembang diluar Ponorogo, dan menjadi bahan perbandingan bagaimana reyog yang ada di Ponorogo dibanding dengan reyog yang berkembang di luar Ponorogo. Yang menjadi pertanyaan bolehkan bila perkembangannya sedikit berubah atau keluar dari pakem? Tentunya bukan kapasitas saya untuk menjawab, saya adalah bagian dari penikmat yang dari masa ke masa reyog terus mengalami perkembangan.
Mungkin hal inilah yang menjadi alasan Kabupaten mengadakan Festival Reyog Nasional, dan acara inipun didukung penuh oleh Propinsi Jawa Timur serta kementrian Pariwisata.
Seni reyog sudah bersinergi dengan seni budaya di tempatnya berkembang, reyog Jakarta mau tidak mau ada aroma Jakarta, reyog Kalimantan mau tidak mau suku Dayak, dan begitu seterusnya. Saya mengistilahkan bersinergi, dimana mereka saling melengkapi dan saling mendukung ke arah kebaikan. Saya tidak menggunakan istilah pengaruh atau dipengaruhi yang artinya terkesan negatif. Dengan adanya sinergi ini reyog bisa diterima dan bisa berkembang di daerahnya yang baru berdampingan dengan seini budaya asli di daerah masing-masing.
Dengan harapan kebaikan seni reyog ke depan dan kelestarian seni budaya pada umumnya tentunya ini menjadi daya tarik tersendiri,
"Selamat datang di Ponorogo, Selamat datang di Bumi Wengker"
Â
*) salam budaya
*) salam Kampret
*) salam njepret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H