Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Reyog Bersinergi, Dengan Seni Budaya Di Tempatnya Berkembang

14 Oktober 2015   08:10 Diperbarui: 14 Oktober 2015   08:10 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 13 Oktober 2015

Membaca judul di atas pastilah banyak yang bingung dan bertanya-tanya. Bersinergi dalam kamus bahasa Indonesia berarti ; melakukan kegiatan atau operasi gabungan: sudah sampai waktunya bangsa Indonesia mulai bekerja dan - secara positif yg menguntungkan seluruh bangsa;
Bagaimana maksudnya? Ada apa yang terjadi pada seni reyog dulu, sekarang, dan yang akan datang?

Sebelumnya secara pribadi saya meminta maaf, bila asumsi ataupun pandangan ini meleset bahkan kurang berkenan terutama bagi insan seni reyog ataupun yang menggelutinya.

Sejak dahulu seni reyog selalu berkembang dan mengikuti jaman. Kesenian lain ataupun keilmuan lain juga tak luput dari proses alamiah tersebut. Sebagai contoh seni reyog dulu semua penari berjenis kelamin laki-laki, berkembang penari jathilnya menjadi perempuan dalam 20-an tahun terakhir dan perubahan serta perkembangan lainnya.

Festival Reyog Nasional XXII (FRN XXI) memasuki hari ke 6, dari tahun ke tahun terus memunculkan kejutan, baik keindahan gerak dan tari, kelincahan dan ketrampilan, kekompakan dan kerjasama dari group-group yang tampil. Semalam yang mendapat giliran tampil kontingen reyog Bantarangin DKI Jakarta, kontingen reyog Paseban PRPI Surabaya, kontingen reyog Lamandau dari Kalimantan Tengah, dan 2 kontingen dari tuan rumah kabupaten Ponorogo.

Masuk ke panggung kontingen DKI Jakarta mirip parade diiringi gamelan yang temponya pelan mirip parade pemeriksaan pasukan tentara, mereka berbaris para penari jathil berjalan mengiringi di samping kanan kiri, sedangkan para penari warok dan ganongan memanggul klonosewandono, dan reyog dadag berjalan dibelakang para penari lainya (seperti gambar diatas). Begitu sampai di tengah langsung memberi hormat kepada juri dan penonton, selanjutnya para penari warok tetap tinggal ditengah langsung menari, para warok menari atraktif. Mengisahkan tentang para warok sedang berlatih mempersiapkan diri untuk siap perang yang dipimpin oleh warok sepuh. Sementara penari lainnya sambil berjalan berkeliling mirip parade lalu menepi ke pinggir panggung. Ini tak lazim dilakukan oleh group reyog tuan rumah yang relative seragam cara memasuki panggungnya, dimana penari tuan rumah sudah mempersiapkan diri di tengah panggung sebelum lampu panggung menyala, ketika lampu nyala mereka langsung menari dengan gamelan tempo cepat, mirip suasana perang. Namun begitu gerakan demi gerakan tarinya tetap sama.

Setelah tarian warok selesai perlahan-lahan penari jathilan bergerak ke tengah, urutan geraknya tidak jauh berbeda dengan penari jathilan tuan rumah. Tata riasnya menggambarkan wanita yang di rias menyerupai lelaki, pakai kumis tipis dan athi-athi atau godhek (jambang yang dipotong rapi di depan telinga). Kostumnya mirip tentara jaman batavia, berhiaskan renda biru di pundak ke arah bahu. Tariannya sama hanya saja gerakannya lebih lincah terutama ketika menggoyangkan pinggul lebih keras dan terpatah-patah mirip tarian jaipongan yang gerakannya terpusat di daerah pinggul. Begitu juga jari-jari tanganya ndengkeng (lentik) seperti penari jaipongan. Matanya-pun dimainkan mengikuti gamelan.

Menurut pak Gendon Suyatno, group ini merupakan bentukan orang-orang Ponorogo warga yang merantau di Jakarta, warga Jakarta, serta warga yang berasal dari daerah yang lain yang sudah hidup berdampingan. Mereka sudah tinggal di Jakarta puluhan tahun dan sudah menjadi penduduk tetap jakarta. Para pemainnya pun bukan darah (ketuturunan) Ponorogo saja, ada orang Betawi, Tasikmalaya, Banten, bahkan orang luar Jawa yang sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta yang tertarik seni reyog. Menurut pak Gendong Suyatno mereka mendapat suport dari Gubernur DKI Jakarta, setiap tahun DKI Jakarta selalu mengirimkan kontingennya lebih dari 1 group. Seni reyog di DKI Jakarta sudah masuk di sanggar-sanggar tari, mereka bisa menari tarian apa saja yang diajarkan di sanggar. Kesenian reyog di Ponorogo biasanya berupa group yang mewakili seperti sekolahan, desa, komunitas, universitas yang personilnya sering bongkar pasang misalnya mengikuti tahun pembelajaran sekolah, dimana ada peneri yang baru masuk dan penari yang keluar karena sudah menyelesaikan pembelajaran di sekolah tersebut.

Ketika ditanya tariannya jathilnya ada nuansa jaipongnya, dia malah tertawa, "Wakakakakakaka masa to mas.... perasaan saya ya endak."

 

 

Penampilan dari kontingen Pasebanb PRPI Surabaya juga menarik. Mereka bersiap ditempatnya masing-masing dari tengah ketika lampu panggung masih mati, begitu lampu menyala mereka langsung bergerak dan menari sampak (rancak dengan tempo cepat) begitu pula gamelannya bertalu-talu dengan tempo cepat. Semua menari  dengan perannya masing-masing seakan memberi penghormatan kepada juri dan penonton. Penari warok mengambil posisi di tengah dan penari lainya menepi di pinggir panggung dan tetap menari dengan tempo pelan.

Penari jathilnya yang selalu saya amati, mereka cantik-cantik, perempuan yang dirias perempuan. Beda dengan kontingen Jakarta perempuan yang dibikin mirip lelaki. Rias wajah penari dari Surabaya ini mirip pemain Remo, model ikat kepala, batik jarik yang dipakai, dan asesoris yang dipakai penari.

Gerakan tariannya sama, cara menggerakan tangan serta posisi kuda-kudanya agak ke bawah (memendek) dengan bukaan kaki lebih lebar mirip dengan tari Remo pada pembukaan kesenian Ludruk, penonton disuguhi tarian sama dengan ciri khas berbeda, dan ini yang membuatnya menarik.

Gamelannya sama, hanya ditambahi seperti saron mirip alat music di daerah pesisiran (daerah pantai). Pakaian para pengrawit (penabuh gamelan) berupa hitam-hitam seperti warok tetapi tertutup sampai atas, dan kain jarik dilipat dan dikalungkan di leher mirip pakain Basofinan (baju khas Surabaya yang dipopulerkan gubernur Basofi Sudirman). Kejutan yang diberikan tak berhenti sampai disitu, yel-yel dan lagu yang dibawakan bukan bahasa jawa seperti biasanya, lagu-lagunya dibawakan menggunakan bahasa Indonesia, lagu popular masa kini, dan lagu-lagu daerah lain seperti lagu apote, sambe rambe, angin mamiri. Diyanyikan seperti koor yang semakin terasa asyik.

Penampilan dari kontingen Kalimantan Tengah Lamandau juga terkesan begitu, balutan seni budaya lokal terasa baik gerakan tarian maupun kostum yang dipakai. Lagi-lagi hal inilah yang ditunggu penonton, ciri khas daerah tempatnya tumbuh yang menjadikan keasyikan tersendiri.

Penampilan dari kontingen tuan rumah begitu-begitu saja dimulai dari tarian warok, tarian jathilan, tarian klono sewandono, tarian ganongan, dan tarian dadag merak. Rata-rata kontingen satu dengan satunya sama, baik jumlah penari, jumlah dadag merak, maupun waktu. Saya menyimpulkan begitu mungkin hampir setiap pekan melihat penampilan seni tari reyog di berbagai tempat di Ponorogo. Mungkin juga pakem (urutan, cara menari, gerakan) reyog sudah dibakukan di Ponorogo.

Tampilnya kontingen-kontingen dari luar Ponorogo tentunya bisa menjadi acuan sejauh mana reyog berkembang diluar Ponorogo, dan menjadi bahan perbandingan bagaimana reyog yang ada di Ponorogo dibanding dengan reyog yang berkembang di luar Ponorogo. Yang menjadi pertanyaan bolehkan bila perkembangannya sedikit berubah atau keluar dari pakem? Tentunya bukan kapasitas saya untuk menjawab, saya adalah bagian dari penikmat yang dari masa ke masa reyog terus mengalami perkembangan.

Dari 40 group reyog yang mengikuti festival tingkat nasional ini 25 diantaranya adalah group dari luar Ponorogo, bahkan sebagian besar dari luar propinsi. Seni reyog begitu pesat berkembang di seantero nusantara bahkan sampai manca Negara. Sebagai salah buktinya beberapa tahun yang lalu ada kontingen dan Suriname yang mengikuti festival. Tentunya semua akan mengalami kesulitan bila ditanya kapan seni reyog masuk ke Suriname, kapan seni reyog masuk Malaysia, kapan seni reyog masuk Kalimantan, kapan seni reyog masuk Sulawesi, kapan seni reyog masuk ke Sumatra, dan lain sebagainya. Hal ini lah mungkin yang menjadi alasan negeri tetanga menge-klem seni reyog menjadi salah satu budaya negaranya. Seni reyog berkembang begitu pesat, lewat para perantau Ponorogo yang menyenangi seni reyog, dan tentu tiap personil pembawa seni ini (penyebar) mempunyai kemampuan serta ciri khas masing-masing, dan mungkin ini kleak yang akan membuat aliran-aliran seni reyog di berbagai tempat di tempat seni reyog tersebut dikembangkan. Mirip dengan aliran-aliran dalam keagamaan yang ada di berbagai tempat di Indonesia.

Mungkin hal inilah yang menjadi alasan Kabupaten mengadakan Festival Reyog Nasional, dan acara inipun didukung penuh oleh Propinsi Jawa Timur serta kementrian Pariwisata.

Seni reyog sudah bersinergi dengan seni budaya di tempatnya berkembang, reyog Jakarta mau tidak mau ada aroma Jakarta, reyog Kalimantan mau tidak mau suku Dayak, dan begitu seterusnya. Saya mengistilahkan bersinergi, dimana mereka saling melengkapi dan saling mendukung ke arah kebaikan. Saya tidak menggunakan istilah pengaruh atau dipengaruhi yang artinya terkesan negatif. Dengan adanya sinergi ini reyog bisa diterima dan bisa berkembang di daerahnya yang baru berdampingan dengan seini budaya asli di daerah masing-masing.

Dengan harapan kebaikan seni reyog ke depan dan kelestarian seni budaya pada umumnya tentunya ini menjadi daya tarik tersendiri,

"Selamat datang di Ponorogo, Selamat datang di Bumi Wengker"

 

*) salam budaya
*) salam Kampret
*) salam njepret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun