Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jathil Obyog, Cerita Lelaki Cantik dan Perempuan Ganteng di Ponorogo

19 November 2015   05:23 Diperbarui: 20 November 2015   23:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang menggelitik dari cerita tarian yang ditampilkan di panggung selatan alun-alun Ponorogo waktu perayaan Grebeg Suro kemarin. “Nasib Jathil Obyog”.

Tarian tersebut menceritkan tentang suka duka penari jathilan lelaki zaman dulu, ketika mereka dipuja-puja oleh para pembarong dan penonton, cerita tentang mereka yang harus menjaga penampilan ketika masih ngongon pada orang yang ditumpanginya, cerita duka ketika peran mereka menjadi penari jathil digantikan oleh wanita. Tariannya ditata begitu apik dan menarik dibawakan oleh siswa-siswa SMU yang dibina oleh sanggar. Bukan penari yang pada zamannya, karena rata-rata para penari jathil lelaki tersebut seusia-an saya. Kok seusia saya? Apakah saya sorang jathil obyog?? Ikuti ceritanya.

Sejarah dan pasang surut kesenian reyog membuat hal tersebut bisa terjadi. Sebenarnya saya bingung untuk memulai cerita ini, takut menyinggung atau menyakiti kalangan tertentu. Diawal munculnya seni reyog semua penari dan orang yang terlibat semuanya lelaki, dan nyaris para perempuan hanya menjadi penonton. Dulu para penari jathilan obyog adalah mereka para lelaki yang rupawan, ganteng, wajahnya bersih. Mereka dipilih oleh para pembarong atau para sesepuh group reyog. Mereka dipilih dengan kreteria tertentu, dan hanya para pemilih tersebut yang mengetaui alasan dalam memilih, namun lambat laun kreteria tersebut lama-lama diketahui umum.

Para penari jathil obyog tersebut awalnya lelaki remaja usia SD-SMP, namun masih jarang zaman segitu anak yang seoklah SMP karena lulus SD saja sudah untung-untungan, selain sekolah SMP jauh harus ke kota kecamatan alas an biaya yang menjadi alasan. Setelah lulu SD rata-rata mereka langsung membantu orang tua mereka bekerja.

Lelaki cantik tersebut adalah para jathil reyog obyog di era sebelum tahun 1985, dimana para penari jathilan adalah anak lelaki, mereka didandani mirip perempuan seperti gambar diatas, sekilas wajahnya. Banyak teman seusia zaman SD yang dijadikan penari jathil obyog. Mereka berasal dari kalangan menengah ke bawah bahkan rata-rata anak dari masyarakat yang kurang mampu. Mereka dipilih dan selajutnya diasuh oleh para pembarong, warok, atau orang kaya di desa orang yang mempunyai ternak banyak karena kriteria kaya dan tidaknya seseorang zaman saya kecil dilihat dari banyak ternak dan rumah joglo mereka.

Ada satu lagi mereka rata-rata anak laki-laki yang sudah ditinggal meninggal bapaknya (anak yatim), saya ndak tahu apa hubungannya anak yang hanya diasuh ibunya dengan cerita jathil obyog lelaki ini, mungkin secara psikologis mereka berkelakuan perempuan?? Entahlah saya Cuma mengamati. Supri teman saya SD di daerah Pudak sana juga situasinya seperti yang saya ceritakan diatas, kang Parni kakak kelas SD saya juga ayahnya sudah meninggal, Kang Hari juga begitu, sekali lagi entahlah hanya para pembarong atau orang reyog saja kiranya yang tahu alasannya. Dulu Supri teman saya awalnya tidak mau, dan menagis ketika akan dijadikan penari, namun entah mengapa dia akhrinya mau, katanya sih zaman dulu itu mereka di bacakan aji pengasihan oleh orang yang menyuruhnya.

Setelah menjadi jathil Supri dihadiahi anak kambing untuk dipelihara, namun tak lama dia ngongon pada orang kaya yang ternaknya banyak. Ngongon (angon) artinya menjadi pengembala ternak baik sapi atau kerbau. Mereka tidak pulang kerumah tapi bermukim di tempat orang yang ternaknya banyak tersebut. Mereka dimanja dibelikan baju, sendal dan arloji, serta barang kebutuhan lain. Yang menjadi ciri khas adalah arloji yang krepyaknya mengkilap, sampai-sampai sampai kini bila ada yang memakai arloji yang warnanya mengkilap sering di timpali “kayak gemblak”.

Apa itu gemblak?? Gemblak adalah lelaki muda ganteng yang diasuh oleh lelaki, artinya lelaki muda ganteng yang disukai oleh lelaki. Lelaki tersebut orangnya halus kayak perempuan baik cara ngomongnya sampai cara jalannya. Entahlah yang satu ini saru untuk diceritakan. Mereka meninggalkan pengasuhnya jika mendapatkan sapi atau diberikan sesuatu oleh pengasuhnya. Lebih sering berupa tanah yang tidak seberapa luas, orang desa menyebutnya stren. Stren adalah sebidang tanah yang didekat sungai yang bisa ditanami sayur mayor, pada intinya mudah dalam pengairannya. Stren ini sebagai modal bagi mereka setelah meninggalkan pengasuhnya.

Memasuki kurun waktu tahun 90-an jathil lelaki digantikan oleh jathil perempuan. Sedikit demi sedikit cerita gemblak tersebut di Ponorogo sudah mulai luntur, meski sebelumnya sudah lumprah, sudah jamak, bahkan bisa dibilang legal karena meski agama melarang namun situasi kurun waktu sebelum tahun 90-an pemerintah terlihat diam, mungkin balutan budaya dan adat istiadat membuat hal tersebut makin membudaya. 

Mungkin cerita duka yang diceritakan dalam tarian tersebut salah satunya ini, yaitu jathil laki-laki ‘lelaki cantik’ sudah mulai tidak digunakan lagi dan digantikan para perempuan yang di rias menjadi ‘perempuan ganteng’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun