Ada yang menggelitik dari cerita tarian yang ditampilkan di panggung selatan alun-alun Ponorogo waktu perayaan Grebeg Suro kemarin. “Nasib Jathil Obyog”.
Tarian tersebut menceritkan tentang suka duka penari jathilan lelaki zaman dulu, ketika mereka dipuja-puja oleh para pembarong dan penonton, cerita tentang mereka yang harus menjaga penampilan ketika masih ngongon pada orang yang ditumpanginya, cerita duka ketika peran mereka menjadi penari jathil digantikan oleh wanita. Tariannya ditata begitu apik dan menarik dibawakan oleh siswa-siswa SMU yang dibina oleh sanggar. Bukan penari yang pada zamannya, karena rata-rata para penari jathil lelaki tersebut seusia-an saya. Kok seusia saya? Apakah saya sorang jathil obyog?? Ikuti ceritanya.
Sejarah dan pasang surut kesenian reyog membuat hal tersebut bisa terjadi. Sebenarnya saya bingung untuk memulai cerita ini, takut menyinggung atau menyakiti kalangan tertentu. Diawal munculnya seni reyog semua penari dan orang yang terlibat semuanya lelaki, dan nyaris para perempuan hanya menjadi penonton. Dulu para penari jathilan obyog adalah mereka para lelaki yang rupawan, ganteng, wajahnya bersih. Mereka dipilih oleh para pembarong atau para sesepuh group reyog. Mereka dipilih dengan kreteria tertentu, dan hanya para pemilih tersebut yang mengetaui alasan dalam memilih, namun lambat laun kreteria tersebut lama-lama diketahui umum.
Para penari jathil obyog tersebut awalnya lelaki remaja usia SD-SMP, namun masih jarang zaman segitu anak yang seoklah SMP karena lulus SD saja sudah untung-untungan, selain sekolah SMP jauh harus ke kota kecamatan alas an biaya yang menjadi alasan. Setelah lulu SD rata-rata mereka langsung membantu orang tua mereka bekerja.
Ada satu lagi mereka rata-rata anak laki-laki yang sudah ditinggal meninggal bapaknya (anak yatim), saya ndak tahu apa hubungannya anak yang hanya diasuh ibunya dengan cerita jathil obyog lelaki ini, mungkin secara psikologis mereka berkelakuan perempuan?? Entahlah saya Cuma mengamati. Supri teman saya SD di daerah Pudak sana juga situasinya seperti yang saya ceritakan diatas, kang Parni kakak kelas SD saya juga ayahnya sudah meninggal, Kang Hari juga begitu, sekali lagi entahlah hanya para pembarong atau orang reyog saja kiranya yang tahu alasannya. Dulu Supri teman saya awalnya tidak mau, dan menagis ketika akan dijadikan penari, namun entah mengapa dia akhrinya mau, katanya sih zaman dulu itu mereka di bacakan aji pengasihan oleh orang yang menyuruhnya.
Setelah menjadi jathil Supri dihadiahi anak kambing untuk dipelihara, namun tak lama dia ngongon pada orang kaya yang ternaknya banyak. Ngongon (angon) artinya menjadi pengembala ternak baik sapi atau kerbau. Mereka tidak pulang kerumah tapi bermukim di tempat orang yang ternaknya banyak tersebut. Mereka dimanja dibelikan baju, sendal dan arloji, serta barang kebutuhan lain. Yang menjadi ciri khas adalah arloji yang krepyaknya mengkilap, sampai-sampai sampai kini bila ada yang memakai arloji yang warnanya mengkilap sering di timpali “kayak gemblak”.
Apa itu gemblak?? Gemblak adalah lelaki muda ganteng yang diasuh oleh lelaki, artinya lelaki muda ganteng yang disukai oleh lelaki. Lelaki tersebut orangnya halus kayak perempuan baik cara ngomongnya sampai cara jalannya. Entahlah yang satu ini saru untuk diceritakan. Mereka meninggalkan pengasuhnya jika mendapatkan sapi atau diberikan sesuatu oleh pengasuhnya. Lebih sering berupa tanah yang tidak seberapa luas, orang desa menyebutnya stren. Stren adalah sebidang tanah yang didekat sungai yang bisa ditanami sayur mayor, pada intinya mudah dalam pengairannya. Stren ini sebagai modal bagi mereka setelah meninggalkan pengasuhnya.
Memasuki kurun waktu tahun 90-an jathil lelaki digantikan oleh jathil perempuan. Sedikit demi sedikit cerita gemblak tersebut di Ponorogo sudah mulai luntur, meski sebelumnya sudah lumprah, sudah jamak, bahkan bisa dibilang legal karena meski agama melarang namun situasi kurun waktu sebelum tahun 90-an pemerintah terlihat diam, mungkin balutan budaya dan adat istiadat membuat hal tersebut makin membudaya.
Mungkin cerita duka yang diceritakan dalam tarian tersebut salah satunya ini, yaitu jathil laki-laki ‘lelaki cantik’ sudah mulai tidak digunakan lagi dan digantikan para perempuan yang di rias menjadi ‘perempuan ganteng’.
Peralihan tersebut lambat laun juga mengalami kendala dimana anak perempuan yang menjadi jathil obyog sempat dicap perempuan nakal, perempuan geleman (mauan), perempuan yang selalu dikelilingi para lelaki, dan riasannya-pun mulai berubah dari ‘perempuan ganteng’ menjadi ‘perempuan cantik’ seperti sekarang ini.
Seni budaya terus berkembang menyesuiakan zaman, reyogpun mau tak mau kena dampaknya agar tak lekang oleh zaman.
Demikian cerita ‘lelaki cantik’ dan ‘perempuan ganteng’ versi saya, semoga bisa menjadi bahan cerita tentang pasang surutnya seni reyog di Indonesia.
“Salam Budaya’
*) terus njepret sebelum njepret dilarang
*) terus nulis sebelum nulis dilarang
*) terus hunting meski bini muring-muring
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H