[caption caption="Alun alun Ponorogo, Shandy-beku dok"][/caption]
Ponorogo, 29 Juli 2015
Alun-alun Ponorogo ini ada semenjak pemerintahan bupati (adipati) Martohadinegoro, beliau adalah bupati (adipati) Ponorogo Kota Tengah yang pertama. Pembagunan ini menandai pemindahan pemerintahan dari kota lama yaitu sekitar Pasar Pon menuju ke daerah yang ikut kelurahan Mangkujayan (kapupaten yang sekarang). Tadinya kabupaten akan dipindah ke darah Tajug, namun pemerintahan Belanda kala itu tidak memperkenankan, pemerintahan Belanda yang berada di Indonesia kala itu menghendaki ibu kota kabupaten harus berada dalam jalur Pacitan, Wonogiri, dan Trenggalek. Maka dipilihlah lokasi yang sekarang ini sebagai pusat kabupaten. Konon dulu ada semacam pepatah, "Kutho entuk ngalih yen wis ono urang munggah bluluk,"Â Para orang tua mengartikan pusat kota boleh pindah jika sudah ada udang (hewan sungai) yang nempel di kelapa (buah kelapa yang masih di pohon), yang maknanya bila sudah ada banjir atau air sungai yang berada dibarat kota (700-an meter) meluap sampai setinggi pohon kelapa.
Sejak awal peruntukan alun-alun Ponorogo sebagai sarana hiburan rakyat, itu ditandai sejak awal alun-alun dibuat sampai sekarang. Beda dengan alun-alun di kabupaten lainnya yang sering dipakai untuk kegiatan olah raga. Bupati Marto Hadinegoro ingin mengambil hati rakyat yang kala itu terjadi mirip perang saudara (perebutan kekuasaan) antara generasi garis keturunan tahta, bahkan pada saat itu awal digabungnya 3 kabupaten yaitu kadipaten kutho Kulon (Sumoroto), kadipaten Polorejo dan kadipaten kota lama, bahkan kadipaten Pedanten kutho wetan. Dulu masing masing kadipaten mempunyai alun-alun serta masjid Kauman (sekarang tinggal bekasnya saja). Mulai saat itu alun-alun dijadikan pusat keramain terutama menjelang hari besar Islam.
Keramaian alun-alun menjadi puncaknya ketika bupati Tjokronegoro (dari keraton Surakarta) menjabat, beliau merupakan keturunan Surakarta dan Ponorogo (cicit Kyai Moh Besari Tegalsari). Beliau mengadopsi alun-alun Keraton Surakarta, baik bentuk dan jenis keramain, maupun saat-saat (waktu) keramaian yaitu pada hari-hari besar Islam. Dan model keramaian tersebut dengan masih adanya tradisi pasar malam sampai saat ini, dimana para pedagang dan jenis hiburannya mirip di Surakarta dan sebagian mereka juga 70% berasal dari daerah sekitar Surakarta hingga sekarang.
"Gawe gemuyune wong cilik," begitu selogan beliau yang hingga kini masih dipakai para bupati Ponorogo sebagai pengingat untuk selalu membuat gembira rakyatnya, membuat makmur masyarakatnya.
Keramaian tersebut berupa pasar malam sudah menjadi agenda rutin, paling panjang waktunya ketika 15 hari menjelang Lebaran sampai 15 hari setelah lebaran seperti sekarang ini, ketika grebeg Syuro 10 hari sebelum 1 muharam sampai 10 hari setelah Muharam. Kegiatan festival yang dalam setahun ada 2 macam yaitu festival reyog nasional bersamaan grebeg Syuro, dan festival reyog mini yang bersamaan hari jadi yang rencana dimulai pada tanggal 1 Agustus 2015 ini, perayaan malam purnama yaitu pagelaran reyog dan sendra tari setiap malam purnama tanggal 15 penanggalan Hijriyah. Festival Agustusan berupa kirab budaya.
Dan nyaris kegiatan olah raga yang menggunakan lapangan permanen seperti bola jarang dilakukan, kalupun ada cuman senam atau lari dipagi hari. Dan kegiatan road race yang juga hampir setiap 2 kali dalam setahun juga diadakan di alun-alun ini.
Secara ekonomi peredaran uang sehari semalamnya lebih 500-an juta, ribuaan pedagang baik lokal maupun pendatang dari luar daerah mengadu nasib di alun-alun ini, baik yang mempunyai stan maupun yang kelilingan. Pemasukan pemda dari stand yang dihitung dari meter persegi, belum lagi bea dan retribusi kebersihan setiap malamnya, parkir, serta angkutan umum maupun omprengan yang membawa pengunjung ke alun-alun ini.
Secara budaya dan hiburan masyarakan Ponorogo mendapat hiburan murah meriah, rekreasi masal bersama sanak saudara sehabis atau sambil berlebaran yang sudah mentradisi, bahkan masyarakat di luar ponorogo seperti trenggalek, Tulungagung, Pacitan, Wonogiri, Madiun, Magetan dan sekitarnya juga tumplek bleg disini ketika lebaran atau grebek syuro tiba. Pekerja seni asli Ponorogo bergeliat dengan tampilnya kesenan lokal di Ponorogo meski gratis yang ditampilkan di panggung selatan.Â
Kemacetan yang luar biasa di sekitaran alun-alun menjadi persoalan tersendiri, dimana alun-alun ini adalah jalur provinsi dari kabupaten Pacitan, Trenggalek atau jalur utama jalur selatan yang menuju Wonogiri. Ketika ada pasar malam kurang lebih perlu waktu 2-4 jam untuk melewati jalan sepanjang 1,5 km. Perlu jalan memutar untuk menghindari kemacetan, namun untuk pengendara luar kota pasti sedikit bingung karena jalan alternatif-nya belem begitu layak untuk kendaraan besar seperti bus atau truk.
Mungkin itu salah satu tantangan dan resiko pemda untuk kedepannya, di satu sisi membuat rakyatnya gemuyu dan disatu sisi membuat dampak terhadap kegiatan lainya.
Dulu sewaktu bupati Soemani pernah pasar malam dipindah di sebelah timur didaerah stadion Batoro Katong namun sepi pengunjung, membuat para pedagang dan pekerja seni kesepian, bahkan masyarakat sempat protes dibilang bupati membuat aturan yang merubah tradisi.
"Durung bodho yen durung menyang alun-alun" kata mereka sebagian besar pengunjung, Belum dianggap lebaran kalau belum mengunjungi alun-alun menurut anggapan sebagian besar masyarakat di Ponorogo.Â
Â
*) selamat lebaran
*) salam kampret
*) salam jalan-jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H