Di kampung ini unik, hampir semua penduduknya bermata pencaharian dari perkapuran ini, namun berbeda-beda jenisnya, selain yang saya ceritakan di atas, juga ada pencari kayu seperti mbah Usreg seperti gambar diatas, tiap hari pekerjaanya mencari ranting-ranting kayu untuk dijual kepada pemilik cubluk, untuk 1 bentel (ikat besar) dihargai 20 ribu, sehari mbah Usreg bisa mengumpulkan 2 bentel. Lumayan buat nambal kebutuhan saban harinya, karena untuk mengangkat batu sudah tidak kuat lagi seperti jaman mudanya dulu.
Ada bengkel truk, yang melayani perbaikan dari puluhan truk yang berlalu lalng beraktifitas di pertambangan ini, mereka menjadi jujukan para pemilik truk, dan para pemilik tak perlu repot jauh-jauh untuk menserviskan kendaraanya atau yang mengganti onderdil.
Banyaknya warung-warung sekitar jalan masuk dan sekitar cubluk oleh para perempuan sekitar sini, membuat mereka bekerja saling ketergantungan mirip mata rantai yang saling membutuhkan.
Namun hingar bingar dan suka cita mereka kian terancam, karena harga batu kapur semakin merosot dan semakin minim keuntungannya. Mereka kalah dengan pabrik-pabrik luar kota yang sudah menggunakan peralatan modern dan serba mesin dan sistem pembakaran canggih. Hanya satu semangat mereka keluarganya perlu makan, dan selama bukit kapur masih bisa ditambang mereka akan terus bertahan hidup.
Â
*) Salam Kampret
*) Salam Koteka
*) Salam Kocek
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H