Setiap kelompok ini bekerja berpindah-pindah dari cubluk satu ke cubluk lainya, jadi nyaris tidak pernah libur. Mereka bekerja borongan, untuk mengisi cubluk ini mereka mendapat borongan 150 ribu, sehari mereka bisa pindah sampai 3 cubluk. Untuk lelaki mendapat bagian 70 ribu sedangkan perempuan mendapatkan pembagian 50 ribu, dan sisanya untuk makanan dan minuman selama bekerja.
Â
Setelah batu-batu masuk dan tertata didalam cubluk, kegiatan selanjutnya adalah pembakaran yang membutuhkan waktu 2 hari. Pembakaran memakai bahan bakar limbah kayu yang didapat dari limbah perusahan mebel atau penggergajian, limbah selipan padi berupa sekam, dedaunan bekas limbah daun minyak kayu putih yang didapat dari pabrik minyak kayu putih di Sukun Pulung, atau ranting ranting yang dibeli dari penduduk sekitar.
Kata pak Sarmo pemilik cubluk, pada proses pembakaran ini dia membutuhan 3 pekerja yang dibagi shif 3 jam sekali, tugas pekerja ini memasukan limbah kayu ini ke dalam tungku seperti gambar diatas, rata-rata tiap 2 meinit sekali harus memasukan dengan alat skrop kecil, kegiatan ini dilakukan terus menerus karena begitu limbah kayu dilempar kedalam langsung disambar bara api didalam cubluk, sebagai penganti kipas dibuat semacam blower yang digerakan oleh dinamo listrik yang disalurkan dimulut tungku, blower ini hidup selama 2 hari 2 malam. Untuk pekerja yang bertugas memasukan serbuk limbah kayu ini dibayar borongan, tiap orang dibayar 70 ribu untuk 2 hari pembakaran, rata-rata yang bekerja adalah perempuan dan sesekali pemilik cubluk seperti pak Sarmo ikut membantu.
Untuk satu rit limbah kayu (1 truk) pak Sarmo harus mengeluarkan uang 1,25 juta. Limbah ini sudah ada pemasoknya, yaitu dari sekitar eks karisedanan Madiun (madiun, ponorogo, ngawi, magetan, pacitan).
Â
Bila sudah 2 hari dan bara api nyundul (sudah mencapai atas) sebagai pertanda kalau batu gamping sudah matang, namun proses belum berakhir, masih memerlukan waktu 1-2 hari untuk menunggu dinginnya. Setelah 2 hari selesainya pembakaran cubluk dibongkar, mula-mula dibuka penutup paling atas yang berupa tanah liat yang sudah menjadi serbuk mirip tumbukan batu bata untuk mengeluarkan sisa-sisa panas, baru batu diambil secara manual dari bawah (lobang tungku) dengan alat semacam penjepit untuk menghindari panas. Untuk pekerjaan ini membutuhkan 3 orang pekerja, 1 pekerja berada dalam cubluk, sedang 2 lainya berada dimulut tungku menerima bongkaran serta langsung memasukkan ke truk pengangkut. Tarif bongkar ini sekitar 300 ribu untuk 3 orang. Sedang serbuk kapur ditampung oleh pekerja wanita dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual tersendiri, seperti gambar diatas.
Perbukitan kapur ini milik pemerintah, namun disewakan per-kapling kepada masyarakat, eklporasi memakai bahan peledak yang harus dibeli pada dinas pertambangan yang berada di area pertambangan ini. Para penyewa kaplingan memperkerjakan 2-3 orang untuk mengebor memasukan bahan peledak. Dan harus pandai-pandai dalam menempatkan bahan peledak serta menatanya agar ledakan atau serbihan batu yang berguguran lebih banyak. Namun ini menurut pak Loso pemilik kapling untung-untungan, tinggal melihat keadaan struktur bebatuan yang diledakkan, pak Loso mempunyai 3 pekerja yang bertugas meledakkan, dan mempunyai 3 armada  dump truk untuk memasok batu-batu siap bakar pada pemilik cubluk. Per satu rit dump truk pak Loso menjual pada pemilik cubluk seharga 340 ribu. Untuk satu kapling dulunya ia membeli sekitar 15 juta dan bisa digugurkan sampai lebih 6 tahun karena berbentuk gunung.
Untuk orang yang belum terbiasa akan meras ngeri karena naik turun tebing yang tingginya lebih 20 meter tanpa pengaman, mereka merayap seakan menempel kayak cicak.