Dulu bila ada sepatu yang ditaruh didepan pintu seperti gambar ilustrasi diatas mengisyaratkan bahwa didalam rumah sedang ada pertempuran antara perempuan pemilik rumah dengan tamu pemilik sepatu, dan bila suami atau orang tua, ataupun orang lain mau masuk rumah akan menundanya dulu.
Para pemilik warung tanpa malu-malu dengan merasa bangga ketika berpergian di pasar atau tempat ramai, beda dengan perempuan-perempuan yang kerja begituan yang cenderung menutupi dirinya ketika lepas dari tempat prostitusi.
Maka tak heran jaman itu di daerah Pulung bagian utara ini sering kali ada kesenian ludruk atau ketoprak kelilingan yang digelar sampai berbulan-bulan, dengan alasan menonton ludruk atau ketoprak para pelanggan menuju ke tempat remang-remang ini.
Tempat ini sangat setrategis tinggal turun sedikit dari wisata telaga Ngebel, dan dekat pasar namun terlindung persawahan, serta ada jalan tembus dari arah Jenangan dan kota.
Dan tempat ini menjadi tempat penambangan pasir mulai saya kecil sampai sekarang, dulu banyak sopir truk luar kota atau sales-sales yang mangkal di daerah sini. Namun sekarang kondisinya sepi.
Menurut pemilik warung sepinya warung remang-remang ini bukan karena penutupan dari pihak pemerintah atau desa namun para penghuni sudah banyak yang tua dan tak laku lagi, dan tidak adanya generasi penerus akhirnya membuat tempat prostitusi disini mati dengan sendirinya.
Bagaimana dengan tempat lain? tunggu ekpedisi saya tentang lokalisasi lainnya
Tentunya saya mengharap lokalisasi lainya juga mati dengan sendirinya seperti Gesing ini, dan tentunya akan meninggalkan cerita-cerita unik. Meski tak terbantahkan prostitusi modern akan lebih rapi di kota sana dengan munculnya hotel-hotel dan tempat hiburan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H