Tak jarang anak-cucu mereka ikut ke pasar, selain bekerja mereka "nyambi momong", karena kebetulan bapak dan ibu cucunya bekerja di Pasar Songgolangit ini juga.
Bermodal "jarik lompong keli" mereka bekerja, jarik lompong keli ini kuat dan tidak molor berbahan mirip kain jeans berwarna coklat dan bergaris biru. Dan jarik lompong keli ini menjadi ciri khas mereka, selain telanjang kaki, ketika ditanya mengapa tidak pakai alas kaki? Mereka menjawab kalau pakai alas kaki takut jatuh karena pasar sering kali licin atau becek. Kaki mereka bertahun-tahun terbiasa kepanasan atau di tempat becek.
Sangat mudah mencari mereka, mereka akan mendekati orang yang sedang belanja dan menawarkan diri, dan akan setia mengikuti dan membawakan barang belanjaan sampai selesai.
Mereka tidak mematok tarif, biasanya kalau pedagang yang berdagang di Pasar Songgolangit memberi 5 ratus rupiah tiap kali gendongan. Namun bagi para pembelanja sering memberikan 1 ribu rupiah bahkan tak jarang memberi lebih.
Dari jerih payahnya jadi kuli panggul mbah Jarmi bisa menguliahkan anaknya di Malang meski mendapat beasiswa, meski glaukoma mendera matanya namun ia tetap bekerja demi keluarganya, untung biaya operasi matanya dijamin pemerintah lewat Jamkesmas yang katanya kini diubah namanya jadi BPJS, sesuatu yang berharga banget bagi keluarganya.
Mereka terkenal jujur, sekali ditunjukkan mobil pengangkut barang dagangan mereka langsung mengangkut bawaan meski didampingi yang menyuruhnya, sementara pemakai jasa bisa terus berbelanja. Pantangan buat mereka untuk berbuat curang, karena seluruh pasar sudah mengenalnya, petugas keamanan akan langsung menagkapnya bila mendapatkan laporan, tapi mereka lebih takut dosa daripada itu semua. Dengan begitu para pengguna jasa tidak usah khawatir akan barang belanjaannya.