Mungkin hanya orang yang bisa berbahasa Jawa yang mengerti arti tersebut. Atau orang yang suka belanja di pasar tradisional Jawa. Minten bisa berasal dari kata 'piro' yang artiya 'berapa' dan dikrama inggil-kan (bahasa lebih halus dalam bahasa Jawa) menjadi 'pinten' dan dijadikan kata tanya jamak yang berubah menjadi 'minten'yang diartikan 'berapaan'.
Namun di masyarakat Jawa kata tersebut sering di jadikan nama seorang perempuan. Seperti nama 'MINTEN' Â dibawah ini.
Aku pekerja sosial di suatu yayasan yang disponsori negara asing yang peduli akan penyakit menular akibat sexual. Yayasan ini independen tanpa campur tangan pemerintah. Hari ini tanggal 22 Desember aku di tugaskan tempatku bekerja mendatangi Lokalisasi Kedung Banteng yang letaknya bagian barat kotaku.
Dengan surat perintah dari atasan, aku segera berangkat ke Lokalisasi, terus terang buta tempat begituan makanya aku mengajak Naryo temenku yang demenannya tempat begituan.
"Sudahlah Nar..... berangkat saja..... naik motor saja." begitu aku mengajak Naryo.
Sesampai di parkiran lokalisasi langsung memarkir motor, dan sengaja aku ndak membawa alat tulis namun pencatatan akan aku lakukan dengan ponsel biar nggak terlalu mencolok.
"Parkirnya 20 ribu mas... mbayarnya per gundul.." petugas parkir sambil menyerahkan kartu parkir.
"Mahal amat, motornya cuman satu kok mbayarnya dua?" umpatku, namun Naryo malah senyam senyum.
"Mas-e belum pernah mencicipi apem sini toh? Meski motornya satu yang bakalan parkir kan dua sampeyan sama teman sampeyan." kata petugas parkir sambil menunjuk ke arah temanku yang masih senyam-senyum.
Akhirnya kubayar dua puluh ribu daripada kelamaan berbantah-bantahan.
"Makanya jadi orang jangan lugu-lugu, pinter nyari uang nggak pinter menikmatinya percumah..." kata Narto sambil cengengas-cengenges.
Aku memulai dari pojok ujung timur, hari masih terlalu pagi rupanya, karena banyak wisma yang masih tutup, mungkin jam-jam sedang mempersiapkan diri mau menbuka lapak istilah orang jualan di pasar, sepanjang gang di bagian wisma bagian belakang banyak perempuan yang barusan mandi dan banyak diantara mereka sedang menjemur pakaian, badan mereka masih nampak basah barusan keramas rupanya, pakaian dalam unik-unik menggantung mulai di belakang wisma mulai dari parkiran tadi, bahakan hampir disemua wisma karena bentuk wismanya berseragam, hanya tanaman di muka wisma yang membuat satu wisma dan wisma lainnya berbeda.
"Ngebet banget mas........ jam segini sudah gak betah....." goda perempuan yang sedang menjemur pakaian dalam yang mungkin hanya 4 meteran dari tempatku berdiri, sambil cekikikan dan temannya yang sedang njemur pakain lainya ikutan cekikikan. Aku hanya bisa prengas-prenges di olok begitu, rasanya kok ya canggung kayak demam panggung menghadapinya, pengalaman yang seumur hidup baru aku alami hari ini.
Entah sudah keburu-buru atau bagaimana Naryo sudah menghilang duluan, aku semakin menyengir sendirian, kikuk dan benar-benar canggung kayak harus pidato didepan orang banyak, meski kali ini cuma mondar-mandir di jalanan komplek lokalisasi, benar-benar di luar dugaanku.
"Nang ...... la opo turut kene?" suara perempuan yang sedang menjemur pakaian dalam, Â di seberang perempatan kecil yang tak jauh dari tempatku berjalan.
Aku sudah hapal betul dengan suara yang memanggilku, aku sudah akrab dengan perempuan yang barusan menegurku. Aku menoleh dan menuju ke arahnya, "Minten...."
Minten kaget dan bingung dengan situasi ini, aku berusah lebih dekat dan melompat ke dekat jemuran karena memang bagian belakang wisma tanpa dinding hanya pagar tembok setinggi lutut orang dewasa.
"Kamu kok di sini Nang?"....." tanyanya kembali dan kelihatan gugup.
"Iya aku disini kamupun disini, kita sama..." sambil jari telunjukku kuarahkan di depan mulutku, agar diam dan merasa tidak bersalah.
Perkataanku yang terakhir membuat Minten akhirnya sedikit mengurangi gugupnya.
"Ayo mampir, masuk..... kepagian kalau kamu ...." sambil minten menggelandang tangan saya masuk lewat dapur. Aku seperti kerbau yang dicokok hidungnya hanya nurut, rasa kasihan dan berusaha menjaga perasaan Minten biar nggak minder dengan apa yang telah diperbuat selama ini.
"Mi ....... free, konco dewek ....." begitu kata Minten melewati perempuan yang usiannya sudah diatas 55-an tahun yang sedang duduk di ruang keluarga sambil kakinya jigang sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
"Iya.... aku sudah tau...." jawab perempuan yang sedang merokok seakan mengamini apa yang dikatakan Minten, meski aku belum tahu apa maksudnya, namun selintas mungkin ini persetujuan dari maminya membawa masuk ke dalam wisma.
Aku terus digelandang masuk ke kamar dan dengan kakinya Minten menutup pintu hingga terdengar , "Jeglek.."
"Duduk dulu.... aku nyisir rambut bentar....." Minten melepas pegangannya sambil menunjuk ranjang kecil yang hanya cukup buat satu orang, akupun segera duduk ditepi ranjang, dan mataku menatap Minten yang sedang mengeringkan rambutnya di depan cermin yang tak begitu besar, namun dari cermin itu aku bisa menyaksikan wajah Minten meski Minten membelakangiku.
Harum rambut Minten berterbangan diterbangkan angin dari hair dryer dan kipas angin kecil yang berada di meja rias, lagi-lagi anganku melayang-layang ikut terbangnya rambut Minten, "Masih saja ayu seperti sekolah dulu.." geramku dalam hati.
"Ndak semua orang boleh masuk kamar ini, semua tamu harus dilayani di kamar depan.." tiba-tiba suara Minten memecah suasana, dan dia terus saja membedaki pipinya. dan dari cermin bisa kusaksikan ayunya minten terlebih saat memoles gincu pada bibirnya, sampai aku menelan ludah. Begitu juga Minten bisa melihat salah tingkahku dari cerminnya.
Begitu Minten membalik badannya dan menuju menuju ke arahku dadaku bergemuruh antara rasa takut dan keinginan yang luar biasa.
Minten duduk disampingku dan memegang kedua tangannku, "Ku tahu kamu bukan seperti orang-orang pelangganku, kulihar dari gemuruh dadamu kamu bukan lelaki yang terbiasa menunggangiku......" ucap Minten yang bibirnya menempel di bibirku juga. Wangi bedaknya dan farfumnya begitu lembut tidak menyegat seperti kata-kata temen lelakiku yang sering ke tempat beginian. Bau ini lebih mirip punyak istriku yang setiap belinya selalu dengan persetujuanku.
[caption id="attachment_150834" align="aligncenter" width="300" caption="Bang Kumis dan Minten"][/caption]
"Ku juga tahu, kamu tak akan berani menjamahku karena kamu bukan lelaki pemberani yang mudah menjamah perempuan...." cerocos Minten sambil terpejam dan bibir merahnya yang basah sudah tepat di ujung hidungku, namun terasa basah dipipiku butiran peluh menetes lembut dari kedua sudut matanya Minten yang terpejam.
Aku menghela nafas lalu kupeluk Minten erat, dan Minten-pun semakin terisak, dan saat itu hilagnlah gemuruh di dadaku.
Kuciumi keningnya Minten dan tangan kiriku terus memeluk pinggangnya dan tangan kiriku membelai rambutnya. Lalu kedua tanganku memegang pipinya dan menopang dagunya sehinga Minten sedikit tengadah biar aku bisa melihat wajahnya yang terpejam, sedikit demi sedikit matanya terbuka dan peluhpun mulai mengering. Mata kami bertatapan lama sekali.
"Bersabarlah Ten....pasti ada jalan keluar asal kamu punya niatan untuk pergi dari sini.." ucapku yang malah membuat mata Minten semakin berlinang. Bedak yang menempel di wajah minten meleleh dan berlepotan dimukaku . Dan Minten semakin erat memeluk pinggangku.
"Kalau kamu mau.... aku akan buka pakaianku...." ucap Minten lirih di tepi telingaku. Aku hanya menggeleng tak berani menjawab. Dan Minten semakin terisak sambil menciumi pipi dan leherku. Dan setelah beberapa saat kemudian Minten melepas ciumannya  dan tangannya masih saja melingkar dipinggangku.
"Terima kasih Nang ..... seperti aku mendapat nyawa baru betemu kamu pagi ini, terima kasih." ucap Minten dan melepas pelukannya dan berganti memegang kedua tanganku.
"Matur nuwun kedatanganmu .... Tuhan mengirimu pagi ini buatku, terima kasih Nang.." ucap Minten sambil berjinjit menciumku dan perlahan melepaskan tanganku dari pegangannya.
"Mampirlah di kamar mandi belakang, cuci mukamu yang berlepotan, dan handuk warna kuning punyakku, pergilah ndak usah pamit, dan segera pulangnlah." kata Minten sambil menjatuhkan badannya terduduk disudut kamar.
[caption id="attachment_150831" align="aligncenter" width="300" caption="Minten ; picture google"][/caption]
Aku segera membuka pintu dan langsung cuci muka di wastafel bukan di kamar mandi belakang seperti pesan Minten , dan aku pergi melwati pintu belakang lagi untuk meninggalkan wisma yang di tempati Minten.
Sepanjang  jalan ke tempat parkiran aku nggak habis pikir apa yang barusan terjadi pada diriku.
Minten [=berapaan] benar-benar terjadi, 'kata tanya' dalam bahasa Jawa itu terjadi pada teman SMP dan SMA-ku sekaligus Tetanggaku yang bernama Minten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H