Aku menghela nafas lalu kupeluk Minten erat, dan Minten-pun semakin terisak, dan saat itu hilagnlah gemuruh di dadaku.
Kuciumi keningnya Minten dan tangan kiriku terus memeluk pinggangnya dan tangan kiriku membelai rambutnya. Lalu kedua tanganku memegang pipinya dan menopang dagunya sehinga Minten sedikit tengadah biar aku bisa melihat wajahnya yang terpejam, sedikit demi sedikit matanya terbuka dan peluhpun mulai mengering. Mata kami bertatapan lama sekali.
"Bersabarlah Ten....pasti ada jalan keluar asal kamu punya niatan untuk pergi dari sini.." ucapku yang malah membuat mata Minten semakin berlinang. Bedak yang menempel di wajah minten meleleh dan berlepotan dimukaku . Dan Minten semakin erat memeluk pinggangku.
"Kalau kamu mau.... aku akan buka pakaianku...." ucap Minten lirih di tepi telingaku. Aku hanya menggeleng tak berani menjawab. Dan Minten semakin terisak sambil menciumi pipi dan leherku. Dan setelah beberapa saat kemudian Minten melepas ciumannya  dan tangannya masih saja melingkar dipinggangku.
"Terima kasih Nang ..... seperti aku mendapat nyawa baru betemu kamu pagi ini, terima kasih." ucap Minten dan melepas pelukannya dan berganti memegang kedua tanganku.
"Matur nuwun kedatanganmu .... Tuhan mengirimu pagi ini buatku, terima kasih Nang.." ucap Minten sambil berjinjit menciumku dan perlahan melepaskan tanganku dari pegangannya.
"Mampirlah di kamar mandi belakang, cuci mukamu yang berlepotan, dan handuk warna kuning punyakku, pergilah ndak usah pamit, dan segera pulangnlah." kata Minten sambil menjatuhkan badannya terduduk disudut kamar.
[caption id="attachment_150831" align="aligncenter" width="300" caption="Minten ; picture google"][/caption]
Aku segera membuka pintu dan langsung cuci muka di wastafel bukan di kamar mandi belakang seperti pesan Minten , dan aku pergi melwati pintu belakang lagi untuk meninggalkan wisma yang di tempati Minten.
Sepanjang  jalan ke tempat parkiran aku nggak habis pikir apa yang barusan terjadi pada diriku.
Minten [=berapaan] benar-benar terjadi, 'kata tanya' dalam bahasa Jawa itu terjadi pada teman SMP dan SMA-ku sekaligus Tetanggaku yang bernama Minten.